REJABAR.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) memastikan, tak ada restorative justice untuk tersangka Mario Dandy dan Shane Lukas dalam kasus penganiayaan David Ozora. Kasus penganiayaan berat yang dilakukan kedua tersangka itu, harus dijerakan dengan pemberian hukuman yang tegas dari pengadilan.
Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Ketut Sumedana mengatakan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) tak perlu memberikan wacana untuk penerapan restoraticve justice. “Tersangka MDS (Mario Dandy), dan tersangka SLRPL (Shane Lukas) sangat tidak layak mendapatkan restorative justice. Perbuatan yang dilakukan oleh para tersangka, sangat keji sehingga perlu adanya tindakan dan hukuman yang tegas bagi para pelaku,” begitu kata Ketut dalam siaran pers, Senin (20/3/2023).
Ketut menerangkan, tersangka Mario Dandy dan tersangka Shane Lukas secera ketentuan memang tak layak mendapatkan restorative justice. Mengacu Peraturan Kejaksaan 15/2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restorative Justice, Pasal 5 menebalkan ancaman hukuman yang dapat peluang restorativ justice adalah terkait dengan tindak pidana yang ancaman hukumannya maksimal 5 tahun penjara.
Sedangkan terkait dengan perbuatan yang dilakukan Mario Dandy, dan Shane Lukas tehadap Mario Ozora mengancam keduanya dipidana maksimal lebih dari 10 tahun penjara.
Dalam penyidikan saat ini, terhadap dua pelaku penganiyaan tersebut, dijerat dengan Pasal 355 ayat (1) subsider Pasal 354 ayat (2), dan Pasal 353 ayat (2), juga Pasal 351 ayat (2) KUH Pidana, Pasal 76 C juncto Pasal 80 UU Perlindungan anak.
Mario Dandy dan Shane Lukas dapat dipidana antara 12 sampai 15 tahun. Satu lagi terlibat dalam kasus penganiyaan berat tersebut, yakni adalah AG, perempuan 15 tahun yang saat ini berstatus berkonflik dengan hukum.
Ketut menerangkan, terhadap AG, penerapan hukuman mengacu pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak. AG dijerat dengan Pasal 76 C, juncto Pasal 80 UU Perlindungan Anak, subsider Pasal 355 ayat (1), Pasal 353 ayat (2), Pasal 351 ayat (2) juncto Pasal 56 KUH Pidana.
Ketut menjelaskan, mengacu peradilan anak, mewajibkan aparat penegak hukum, termasuk kejaksaan untuk melakukan upaya-upaya perdamaian. Itu dilakukan, untuk menjaga masa depan AG, sebagai anak berkonflik dengan hukum.
Karena itu, Ketut menerangkan, pendekatan terhadap AG, bukan restorative justice. Melainkan diversi hukum yang menyediakan proses penyelesaian hukum di luar jalur pengadilan untuk berdamai.
Akan tetapi, dalam diversi hukum, pun kata Ketut menjelaskan, harus ada mensyaratkan pemberian maaf dari korban sebagai bentuk perdamaian antara kedua pihak, pelaku dan korban. “Bila tidak ada kata maaf, maka perkara pelaku anak, harus dilanjutkan sampai ke pengadilan,” ucap Ketut.