REJABAR.CO.ID, BANDUNG—Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), selama satu dekade terakhir, Indonesia hanya mampu menurunkan 3,5 persen saja angka perkawinan anak yang saat ini semakin meningkat. Di masa awal pandemi saja, tercatat setidaknya 34 ribu permohonan dispensasi menikah yang diterima Pengadilan Agama sepanjang 2020, dan 97 persen diantaranya dikabulkan.
Jumlah pemohonan dispensasi kawin yang 60 persennya diajukan oleh anak di bawah 18 tahun itu melonjak cukup tinggi dibanding tahun lalu, 2019, dengan 23.700 pengajuan. Sementara itu, pada 2021, Komnas Perempuan mencatat ada 59.709 kasus pernikahan dini yang terjadi pada anak di bawah 19 tahun.
Adinda Almas (17 tahun) mengaku cukup takut dan khawatir terhadap resiko pernikahan dini dan pergaulan bebas yang menghantui generasinya. Siswi kelas XII MAN Purwakarta ini mengaku telah melihat salah satu murid sekolahnya yang harus ditahan kelulusannya akibat pernikahan di luar nikah.
“Sempat ada yang ketahuan hamil duluan jadi ijazahnya ditahan,” kata Adinda kepada Republika, Kamis (2/3/2023).
Akibatnya, dia menjadi membatasi pertemanannya demi menghindari risiko yang berpotensi menghancurkan masa depannya tersebut. Untuk meminimalisasi risiko, dia mengatakan, lebih menjaga jarak dan mengurangi interaksi dengan lawan jenis.
“Takut, jadi karena aku takut, maka mencegahnya dengan menjaga jarak sama laki-laki, karena sekarang di luar sana banyak yang kaya gitu (hamil di luar nikah),” ujarnya.
Adinda berharap, teman-teman sebayanya dapat lebih selektif dalam memilih lingkaran pertemanan. Menurutnya, pertemanan yang salah hanya akan menjerumuskan pada hal-hal yang merugikan, salah satunya pergaulan bebas.
“Aku sih berharap mereka tidak salah pergaulan, karena pergaulan sekarang kan banyak yang buruk jadi aku berharap mereka ga salah pilih teman,” harapnya.
Tak hanya pernikahan usia anak, kasus kekerasan dan bullying juga menjadi isu sosial yang marak terjadi di tengah generasi muda. Menguti data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, memasuki trimester awal 2023, tercatat sebanyak 4.373 kasus kekerasan yang terjadi, dimana kelompok usia 13 hingga 17 tahun menjadi korban terbanyak.
Tecto Tanri Handoko (17 tahun), siswa kelas akhir SMAN 1 Ngamprah Kabupaten Bandung Barat, mengaku masih menemukan sejumlah kasus bullying di sekitarnya. Meski begitu, masih banyak pihak, termasuk guru yang menganggap perilaku bullying tersebut sebagai candaan antar teman, ujar remaja yang akrab disapa Tito ini.
“Sebenernya ada di kelas aku, dan menurut aku itu udah berlebihan ya, karena si pembully itu ngelakuin bullying buat mereka terhibur aja. Jadi mereka suka suruh-suruh si korban, ejek-ejek berlebihan juga. Itu kejadiannya masih berlangsung sampai sekarang,” ujar Tito kepada Republika.
Korban, yang merupakan salah satu teman Tito, juga mengatakan awalnya masih dapat mentolerir sikap ‘jahil’ teman-temannya. Namun akibat tindakan para pelaku yang semakin menjadi-jadi, membuat korban kerap mengeluh namun masih enggan melapor.
“Temen ada, dia tuh awalnya nanggepinnya biasa aja, tapi akhirnya ngeluh juga. Tapi dari sekolah juga ga tau ada tindakan apa, ga terlalu kelihatan juga (tindakannya),” kata Tito.
Dia berharap kedepannya para pelaku dapat memperbaiki sikapnya, dan menjadi pribadi yang lebih baik. Dia juga menyarankan teman-teman sebayanya agar lebih berani melapor jika menemukan atau mengalami tindakan kekerasan atau bullying.
“Semoga (pelaku) pada tobat, soalnya nanti bakal susah juga kalau semakin banyak orang yang kaya gitu (bully), jadi mending perbaiki diri. Harapannya sih supaya generasi muda bisa lebih baik lagi,” harapnya.