REJABAR.CO.ID, BANDUNG -- Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat mulai menerima aduan kasus bullying atau perundungan yang terjadi di SMA dan SMK melalui Aplikasi Sistem Terintegrasi Olah Pengaduan Perundungan (Stopper). Menurut Sekretaris Disdik Jabar, Yesa Sarwedi, tercatat ada 8 laporan kasus bullying yang masuk pada Stopper.
Aplikasi Stopper, diluncurkan pada 22 Februari 2023. Aplikasi ini, digagas sebagai salah satu upaya Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar dalam menyikapi maraknya kasus bullying atau perundungan terhadap warga sekolah.
Menurutnya, laporan yang masuk aplikasi stoper ada delapan kasus. Selain itu, ada juga beberapa yang dilaporkan dengan anonim atau nama dirahasiakan.
"Total ada 8 laporan, identitas kita jaga, dan ini kita pelajari dan kita distribusikan cabang dinas ke sekolah," ujar Yesa dalam acara Galang Aspirasi Politik (Gaspol) Pokja PWI Gedung Sate, Senin (20/3/2023).
Yesa mengatakan, kasus perundungan yang terlaporkan di aplikasi Stoper dilakukan oleh siswa-siswi SMA/SMK dan guru. Adapun kasus yang dilaporkan mulai dari bullying dan beberapa kasus lainnya. Semua laporan yang masuk ke dalam aplikasi juga, akan ditindaklanjuti dengan verifikasi.
"Kasus bervariasi, dari 8 ini ada enam laki-laki, dua perempuan. Anonim ada dua dan enam sebutkan nama. Kategori pelaku satu guru, kemudian siswa tiga orang dan yang di luar siswa dan guru da empat orang," katanya.
Selain melakukan verifikasi pada pihak sekolah dan pelapor, Disdik Jabar juga akan memberikan sanksi teguran pada pelaku tindakan bullying serta akan melakukan mediasi dari para orang tua korban dan pelaku, termasuk pihak sekolah.
"Sanksinya pembinaan, termasuk guru, tapi kalau fisik ya biasanya berunding dengan orang tua baik pelaku dan korban orang tua. Artinya bisa masuk ranah hukum," katanya.
Sementara menurut, Anggota Komisi V DPRD Jabar, Sri Rahayu Agustina mengatakan, aplikasi yang dibuat oleh Disdik Jabar sudah sesuai dengan Perda Nomor 3 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Anak. Dia mengapresiasi langkah Disdik ini.
"Nah saya harapkan program ini bukan hanya program seremonial. Akan tetapi, ini adalah program yang benar-benar bisa dirasakan oleh siswa, orang tua, guru, dan kepala sekolah," katanya.
Menurutnya, ketika berbicara tentang kekerasan terhadap anak, banyak rangkaian yang harus dipenuhi dari program Stopper tersebut. Dia juga mengusulkan adanya psikolog untuk turut membina para peserta didik serta guru.
"Kesiapan dari program ini harus bersinergi dengan stakeholder lainnya seperti DP3AKB dan memberikan sosialisasi ke sekolah-sekolah melalui rapat dengan orang tua murid, paguyuban juga bisa diundang," katanya.