Sepengetahuan Agus, cucu-cicit Hadi sempat membangun tempat tinggal di sekitar rumah dinas PT KAI itu, yang kala itu sudah dihuni oleh tujuh pegawai PT KAI lain beserta keluarganya. Namun, kata dia, pada 2007, rumah-rumah yang dinilai liar (bedeng) tersebut dibongkar.
Akan tetapi, menurut Agus, ada satu yang bertahan. “Masih ada satu yang bertahan, Bu Yuni. Pada 2007 itu kita rapat dan ada salah satu keponakan Yuni yang meminta untuk menggerakkan organisasi, di situlah ada Hari Nugraha (penggerak aksi), dan di sanalah dia turun untuk membantu Yuni,” kata Agus.
Menurut Agus, sejak itu aksi protes hingga perseteruan untuk memperebutkan lahan terus terjadi. Ia mengatakan, PT KAI berupaya mengamankan lahan tempat bangunan itu, tapi gagal. Hingga pada sekitar 2012 bangunan zaman Belanda itu ditempati organisasi keagamaan.
“Tapi, karena ada permasalahan internal, akhirnya mereka muncul dan rumah dinas itu diganti fungsi menjadi base camp pemuda panca marga (PPM). Lalu 2014 itu rumah dinas tersebut dibuka sebagai mushala. Jadi, ada ruangan kecil yang difungsikan menjadi mushala,” kata dia.
Pada sekitar 2017, menurut Agus, rumah tersebut disegel oleh kepolisian karena dinilai penyalahgunaan aset milik PT KAI. Meski demikian, sepengetahuan Asep, Hari bersikukuh memanfaatkan bangunan tersebut sebagai tempat ibadah atau masjid.
“Jadi, yang disebut cagar budaya itu aslinya bukan masjid, tapi rumah dinas PT KAI yang memang sudah ada sejak zaman Belanda, tapi difungsikan sebagai masjid,” ujar dia.