Rabu 23 Aug 2023 13:52 WIB

Pengamat Duga 'Tersanderanya' Surya Paloh Buat Koalisi Perubahan Stagnan

PKS dan Demokrat tampak mulai gusar setelah merasakan koalisinya tidak ada kemajuan.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, Ph.D.
Foto: Dok Parmad
Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam, Ph.D.

REJABAR.CO.ID,  JAKARTA -- Survei Litbang Kompas Agustus 2023 mengonfirmasi tercecernya elektabilitas Anies Baswedan. Walau pernah mencapai 29 persen penghujung 2022, elektabilitas Anies selalu tercecer di posisi bawah selama 2023.

Pengamat politik A Khoirul Umam mengatakan, jarak Anies cukup jauh dari capres-capres potensial, seperti Prabowo dan Ganjar. Elektabilitas Anies yang tercecer turut dibayangi kondisi Koalisi Perubahan yang stagnan.

"Saat PKS dan Demokrat mengeklaim siap mendeklarasikan pasangan capres-cawapres dan membentuk infrastruktur pemenangan Anies, Nasdem justru bersikeras mengulur waktu hingga menit-menit terakhir," kata Umam kepada Republika.co.id, Rabu (23/8/2023).

Dia menduga, tidak bergeraknya Nasdem kemungkinan besar karena situasi Surya Paloh tersandera tangan-tangan kekuasaan yang tidak terlihat. Yang mana, belakangan memiliki hobi menggebuk lawan politik dengan instrumen hukum.

"Karena ketakutannya pada manuver tukang gebuk itu, Paloh terus memilih diam, mengulur waktu dan tidak segera memutuskan nasib keberlanjutan pencapresan Anies," ujar direktur eksekutif Indostrategic tersebut.

Di sisi lain, Anies yang seharusnya tampil agresif memimpin koalisi kini ikut-ikutan diam menyaksikan koalisinya stagnan. Malah, elektabilitasnya masih terseok-seok pada enam bulan menjelang Pilpres 2024 mendatang.

Bahkan, selaku capres pro-perubahan, Anies Baswedan sendiri belakangan tampak semakin gamang dan tidak cukup keberanian untuk melontarkan kritik kebijakan pemerintahan. Yang mana, sempat diklaim hendak diubah.

Masalahnya, Umam melanjutkan, stagnasi elektabilitas Anies dan bergemingnya Nasdem betul-betul jadi ujian berat partai-partai pengusung Anies lain. Pertama, terancam tidak mendapatkan efek ekor jas pencapresan Anies.

Lalu, PKS dan Demokrat tampak mulai gusar setelah merasakan koalisinya tidak ada kemajuan. Tidak ada kesetaraan dalam pengambilan keputusan di internal koalisi dan tampak tidak ada keseriusan untuk bergerak bersama.

Munculnya wacana Ganjar-Anies sebagai pasangan belakangan ini dipandang sebagai bagian strategi awal pembubaran Koalisi Perubahan. Sehingga, partai yang merasa tidak nyaman bisa segera ke luar dari koalisi.

"Jika ini terjadi, deadlock Koalisi Perubahan bukan semata akibat benturan ego elite partai-partai, juga akibat cawe-cawe tangan kekuasaan yang mengunci tangan dan kaki salah satu partai pengusung," kata Umam.

Jika Koalisi Perubahan masih ingin tampil kompetitif, Anies harus lebih agresif dan memecah kebekuan koalisi. Sebab, pasca bergabungnya Golkar-PAN ke Prabowo, konfigurasi parpol pembentuk poros koalisi sudah final.

Jika tetap diam, Anies bisa tidak sadar hampir kehilangan momentum. Anies harus paham kisah sukses di Pilgub DKI 2017 tidak bisa disamakan dan diterapkan kembali dalam kontestasi Pilpres 2024 di Indonesia.

"Seharusnya Anies dan koalisinya bisa bergerak cepat dengan deklarasi capres-cawapres, finalisasi sekber dan bentuk infrastruktur pemenangan. Sehingga, elektabilitasnya kembali kompetitif menjelang Pilpres 2024," ujar Umam yang merupakan dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina itu. 

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement
Advertisement
Advertisement