REJABAR.CO.ID, JEMBER -- Pengamat politik Universitas Jember Dr. Muhammad Iqbal menilai, dukungan Partai Demokrat ke Prabowo Subianto bisa mengacaukan skenario Presiden Joko Widodo.
"Pertama problematik secara arah strategis Koalisi Indonesia Maju dan kedua, problematik secara prinsip etika Partai Demokrat," katanya, Selasa (26/9/2023).
Dia mengatakan, bergabungnya Partai Demokrat dengan mencapreskan Prabowo bisa problematik bagi skenario Presiden Jokowi atas arah Koalisi Indonesia Maju. Karena, Jokowi terbaca ikut menentukan ke mana arah koalisi itu.
"Koalisi besar yang dipimpin Gerindra itu diperkuat oleh partai politik kabinet Jokowi, yaitu Golkar, PAN, PSI, serta yang non-kabinet, yakni Partai Garuda, Partai Gelora, dan dua partai non-partisipan Pemilu 2024 yaitu Partai Berkarya dan Partai PRIMA," ujarnya.
Menurutnya, semua partai dalam Koalisi Indonesia Maju dan Prabowo menyatakan tegak lurus untuk melanjutkan semua kebijakan dan program Jokowi.
Sedangkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ketua Umum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) masih menitipkan pesan kepada Prabowo untuk juga mengusung spirit perubahan. Padahal, Prabowo kukuh menegaskan melanjutkan total program Jokowi.
Dia menilai, dukungan Jokowi terbaca lebih ke arah Prabowo daripada ke Ganjar Pranowo, meskipun Jokowi adalah petugas atau kader utama PDI Perjuangan.
"Sebaliknya, Partai Demokrat ketika masih berada dalam Koalisi Perubahan, baik SBY dan AHY sangat keras mengkritik kebijakan Jokowi. Bahkan PDIP juga kerap ingatkan Demokrat agar tidak ganggu Jokowi," kata pakar komunikasi politik Unej itu.
Jika dalam konteks kritik keras SBY kepada Jokowi selama ini, bisa diartikan Partai Demokrat ambil posisi ingin ikut mengontrol jangan sampai keterlibatan Jokowi semakin dalam di tubuh Koalisi Indonesia Maju.
Padahal, Prabowo dan ketua umum partai besar di koalisi itu sebelum Partai Demokrat bergabung, memang terkesan sangat tegak lurus pada arahan Jokowi.
Persoalan kedua, selama sembilan tahun Partai Demokrat nyaris total menjalankan fungsi oposisi terhadap pemerintahan Jokowi. Puncaknya ketika masih berada di Koalisi Perubahan bersama Nasdem dan PKS, Demokrat gencar menguatkan basis kader dan simpul pemilihnya bahwa jiwa, prinsip etik dan strategi partai adalah gelora perubahan.
"Landasan etik itu bisa menjadi persoalan serius dan membingungkan di basis kader dan kantung suara pemilih Partai Demokrat, tapi sebagian kader dan pemilih menghendaki Demokrat tetap kembali ke Koalisi Perubahan," katanya.
Iqbal menjelaskan, elite Partai Demokrat sudah memutuskan bergabung ke koalisi yang justru total ingin melanjutkan program dan kebijakan pemerintahan Jokowi yang selama ini banyak dikritik keras oleh prinsip etik Demokrat.
"Bisa jadi, problem etik sangat potensial malah menggerus suara dukungan elektoral dari kader dan pemilih Partai Demokrat pada Pilpres 2024," ujarnya.