REJABAR.CO.ID, BANDUNG--Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia (Amphuri) menilai revisi Undang-undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah sangat mendesak dilakukan. Karena, menurut Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Amphuri, Firman M Nur, Undang-undang tersebut sudah tak bisa lagi mengakomodir perkembangan berbagai kebijakan Arab Saudi.
Apalagi, kata dia, saat ini Arab Saudi yang sudah melakukan banyak terobosan. Yakni, mulai dari digitalisasi, penerbitan berbagai visa, hingga perlindungan jemaah. Bahkan, kebijakan Arab Saudi tersebut bisa berpengaruh pada pelayanan ibadah haji mendatang.
"Kan dengan visi Arab Saudi 2030, bisa melakukan B to C (business to customer). Artinya tak ada lagi batasan, ini bisa mengacaukan sistem yang ada seperti antrian haji, pembagian kuota per wilayah jadi efeknya besar," ujar Firman di sela-sela Munas Amphuri di Bandung, Rabu (31/7/2024).
Firman mengatakan, antrian haji akan terdampak. Tren di Eropa, banyak agen perjalanan yang tutup karena jemaahnya mendaftar langsung melalui aplikasi yang dirilis Arab Saudi. Saat ini, jumlah jamaah haji baru 1,8 juta orang. Namun, enam tahun ke depan menjadi 5 juta atau naik hampir 300 persen.
Sebenarnya, kata Firman, revisi UU Haji dan Umrah itu sudah masuk Prolegnas 2023. Tapi, prosesnya saat ini sudah tak terdengar kabarnya. Padahal, revisi itu sangat dinantikan. Amandemennya pun, bahkan sudah harus dilakukan sejak judul perundangan. "Karena kalau pakai kata penyelenggaraan kan lebih bersifat teknis. Jadi, selama ini berkutat pada mana yang boleh dan tidak dilakukan berdasarkan regulasi," katanya.
Dalam revisi tersebut, Firman berharap ada keberpihakan terhadap kelangsungan usaha di bidang penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Karena, pemerintah harus melindungi usaha ini.
Saat ditanya apakah perlu dibentuk lembaga khusus haji, Firman mengatakan, pihaknya belum bisa berkomentar soal itu karena harus ada kajian secara komperhensif terlebih dahulu. Namun, agar layanan haji bisa lebih baik pihaknya mengusulkan agar kantor urusan haji diubah menjadi Konsulat Jenderal Haji.
"Tiap tahun kita kan mengirimkan jamaah haji. Jadi perlu dibuat konsulat jenderal haji agar ada imunitas kebijakan. Kalau hanya kantor urusan haji urusannya terlalu berat," katanya.
Menurutnya, konsulat jenderal haji ini nantinya langsung berada di bawah Deplu. Jadi, ada imunitas deplomatik yang setara dengan Saudi Arabia. "Kalau pembentukan konsulat ini sudah kami berikan rekomendasinya ke pemerintah," katanya.