REJABAR.CO.ID, BANDUNG--Proses pengupahan tahun ini telah mencapai tahap akhir dengan diterbitkannya Surat Keputusan (SK) untuk UMP, UMSP, UMK, dan UMSK. Keberhasilan ini dinilai, tidak lepas dari kerja keras Dewan Pengupahan dan seluruh stakeholder yang telah mencurahkan waktu, tenaga, dan pikiran.
Sebelumnya, Penjabat Gubernur Jawa Barat (Pj Gubernur Jabar) Bey Machmudin menetapkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) 2025. UMK 2025 ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Jabar Nomor 561.7/Kep.798-Kesra/2024 tentang Upah Minimum Kabupaten/Kota di Daerah Provinsi Jawa Barat Tahun 2025.
Dalam Kepgub 561 yang ditandatangani Bey Machmudin, Selasa (17/12/2024), tertuang besaram UMK 27 kabupaten dan kota. UMK paling tinggi Kota Bekasi Rp5.690.752,95 dan paling rendah Kota Banjar Rp2.204.754,48. Sementara Kota Bandung sebagai Ibu Kota Jawa Barat besaran UMK – nya berada di angka Rp4.482.914,09.
Sebagai gambaran, UMK Kota Bandung pada 2024 sebesar Rp 4.209.309, dengan kenaikan 6,5 persen yang sudah ditetapkan oleh Pj Gubernur, UMK tahun 2025 naik Rp 273.605 atau menjadi Rp 4.482.914.
"Kami memahami bahwa tidak semua pihak, baik serikat pekerja maupun pengusaha, akan merasa
sepenuhnya puas dalam proses pengupahan. Hal ini lumrah terjadi setiap tahun, mengingat keputusan harus mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk kondisi ekonomi global yang semakin kompetitif," ujar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jabar, Ning Wahyu Astutik kepada wartawan, Kamis Petang (19/12/2024).
Ning menilai, dalam situasi seperti ini bagi pengusaha sedikit kenaikan biaya dapat memengaruhi daya saing perusahaan, sedangkan menurut Serikat Pekerja, kenaikan yang terjadi masih dirasa kurang tinggi.
"Keputusan Gubernur ini memberikan kelegaan bagi para pengusaha di sektor terkait. Khususnya di tengah kondisi ekonomi yang berat dan penjualan yang terus menurun, baik domestik maupun ekspor. Pilihan sulit yang
dihadapi pengusaha antara melanjutkan usaha atau melakukan PHK kini sedikit teratasi," paparnya.
Adanya keputusan ini, kata dia, memungkinkan mereka tetap melanjutkan operasional tanpa harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). Ning percaya, keputusan ini telah mengakomodasi keseimbangan antara kebutuhan pekerja dan keberlangsungan usaha.
"Kami berharap para pengusaha tetap optimis dan yakin bahwa langkah ini akan mendukung masa depan Jawa Barat yang lebih cerah," katanya.
Menurutnya, sebagai provinsi dengan tingkat investasi yang terus meningkat Jabar menghadapi peluang besar sekaligus tantangan signifikan. Relokasi dan pengurangan kapasitas perusahaan padat karya ke luar provinsi atau keluar negeri, telah menjadi salah satu sebab tingginya angka pengangguran. Namun, potensi Jabar tetap kuat dengan keunggulan sumber daya manusia yang melimpah dan infrastruktur yang terus berkembang untuk mendukung investasi.
Setiap tahun, kata dia, Jabar meluluskan sekitar 600 ribu siswa SMA/SMK, sementara banyak lulusan SMP tidak melanjutkan pendidikan. Hanya 25,57 persen yang dapat melanjutkan ke jenjang lebih tinggi, sementara sisanya membutuhkan lapangan kerja. Sektor industri padat karya, seperti garmen dan sepatu, memiliki peran vital untuk penyerapan lapangan pekerjaan.
"Menjawab tantangan ini, Presiden Prabowo Subianto telah mencanangkan kebijakan strategis untuk menyelamatkan industri padat karya, termasuk subsidi bunga 50 persen untuk investasi melalui berbagai bank," katanya.
Kebijakan ini, kata dia, didukung penuh oleh Gubernur Jabar, yang menetapkan bahwa industri padat karya tidak termasuk dalam UMSK, sesuai dengan Permenaker No 16 Tahun 2024 Pasal 7 Ayat 3. Langkah ini diharapkan mampu menarik lebih banyak investor dan mencegah relokasi atau pengurangan kapasitas perusahaan ke luar provinsi atau keluar negeri.
Provinsi Jabar, kata dia, memiliki keunggulan kompetitif, seperti jumlah penduduk yang besar, angkatan kerja yang melimpah, dan infrastruktur yang mendukung investasi. Dengan fokus pada transformasi menuju sektor padat modal dan teknologi tinggi, Jabar siap menjadi pusat pertumbuhan ekonomi yang kompetitif dan berkelanjutan.