Rabu 28 May 2025 13:11 WIB

Bertaruh Nyawa, Sejumlah Siswa SD di Bandung Barat Naik Rakit Sebrangi Waduk Saguling ke Sekolah

Sejumlah siswa bergiliran naik rakit untuk menyebrangi perairan Waduk Saguling

Rep: Ferry Bangkit Rizki / Red: Arie Lukihardianti
Sejumlah Siswa Menaiki Rakit untuk Mengakses Sekolah di Desa Karanganyar, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.
Foto: Dok Republika
Sejumlah Siswa Menaiki Rakit untuk Mengakses Sekolah di Desa Karanganyar, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat.

REJABAR.CO.ID,  BANDUNG BARAT -- Sejumlah siswa SDN Panaruban terpaksa menggunakan rakit bambu yang lapuk saat pergi dan pulang di Desa Karanganyar, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat.

Demi memperoleh akses pendidikan, mereka menyebrangi perairan Waduk Saguling dengan kondisi rakit atau getek yang cukup mengkhawatirkan dan berbahaya. Mereka baru saja selesai bersekolah yang berada di Kampung Cangkuang, Dusun I, RT 04/02, Desa Karanganyar pada Rabu (28/5).

Baca Juga

Untuk pulang ke rumahnya masing-masing, mereka terlebih dulu harus berjalan menyusuri jalan setapak melewati kebun jagung sekitar 700 meter menuju titik rakit di bibir Waduk Saguling di Kampung Cijigud, RT 04/02, Desa Karanganyar.

Kemudian sejumlah siswa bergiliran naik rakit untuk menyebrangi perairan Waduk Saguling sekitar 120 meter menuju Kampung Sampora, Dusun II, RT 03/08, Desa Karanganyar. Kondisi rakit tersebut terbilang mengenaskan. Bambu-bambu rakit sudah lapuk dan terbelah. Rakit digerakkan oleh seorang juru eret atau penarik tarik yang tertambat di kedua tepi penyeberangan.

"Udah biasa pakai rakit, biasanya dari rumah jam 06.30 sampe sekolah jam 07.00 WIB," ujar Kayla (9), salah seorang siswa SDN Panaruban.

Setiap hari, Kayla diantar orang tuanya dari rumah menuju titik keberadaan rakit hingga ada yang menyebrangkannya. Kepulangannya pun selalu disambut ibundanya di titik yang sama. Siswa kelas II itu mengaku tak masalah harus menyebrang perairan Waduk Saguling setiap hari asalkan bisa sekolah dan jaraknya tidak terlalu jauh.

Menggunakan raket menjadi opsi paling rasional bagi Kayla dan sejumlah siswa lainnya untuk pergi dan pulang sekolah. Sebab jika menggunakan jalur darat harus memutar sekitar 15-20 kilometer menggunakan sepeda motor. Terlebih lagi di wilayahnya tidak ada sekolah dasar negeri. "Enggak takut (naik rakit), soalnya udah biasa," kata Kayla.

Dodo Jalal, guru kelas di SDN Panaruban mengatakan, awalnya ada sekitar 15-20 siswanya yang setiap sekolah dan pulangnya selalu menaiki rakit untuk mengakses pendidikan. Namun kini jumlahnya berkurang dan dibatasi.

"Siswa yang menaiki getek atau rakit dari sini sekarang kurang lebih ada 5 orang, kelas 1, 2 dan 3. Kami bukan tidak mau menerima siswa dari sebrang, tapi membatasi saja karena khawatir air lagi naik, jadi demi keselamatan," kata Dodo.

Dulu, kata dia, sekolah sempat membuat rakit khusus untuk mengangkut siswa dari seberang. Namun sekarang sudah rusak karena kebanyakan dipakai masyarakat sekitar. Pihaknya berharap pemerintah merealosasikan pembuatan jembatan. "Dari dulu udah wacana membuat jembatan, mudah-mudahan tahun ini pemerintah sediakan jembatan," kata dia.

Sejak proyek waduk Saguling dibangun tahun 1984, Desa Karanganyar Kecamatan Cililin terbelah oleh perairan. Kondisi ini mengakibatkan dusun 1 dan 4 Desa Karanganyar sulit ditempuh jalur darat. Akses ke kantor desa, sekolah, hingga layanan kesehatan terpaksa harus lewat rakit.

Akses menggunakan rakit tak hanya menjadi pilihan sejumlah siswa untuk menyebrang, tapi juga orang dewasa yang melakukan berbagai kegiatan. "Banyak petani yang pakai rakit juga buat nyebrang. Terus kadang warga juga yang mau ngurus administrasi kependudukan ke kantor desa pake rakit, soalnya kalau muter lumayan jauh," kata Kepala Dusun 1 Desa Karanganyar, Asep Saepulloh.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement