Secara umum, beubeutian yang merupakan bahasa Sunda itu berarti umbi-umbian, seperti singkong, ubi, dan kacang. Beubeutian umumnya dimasak dengan cara direbus dan disajikan untuk makan bersama.
Menurut Ogi, makna dari beubeutian di zaman dulu adalah sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen warga. Dulu beubeutian juga merupakan makanan pengganti nasi di musim paceklik. “Keterbatasan dalam proses memasak pun jadi bagian dari tradisi beubeutian. Soalnya dulu minyak goreng masih sulit didapatkan,” ujar Ogi.
Beubeutian di zaman kiwari dianggap sebagai makanan yang sehat untuk tubuh. Melalui Festival Beubeutian ini, diharapkan upaya menjaga kesehatan pun dapat dilestarikan. “Ini juga sebagai edukasi kepada generasi muda bahwa orang tua dulu seperti ini makanannya. Apalagi beubeutian hari ini juga dianggap sebagai makanan sehat,” kata Ogi.
Makanan yang disajikan pada Festival Beubeutian sangat beragam. Bentuknya juga bermacam-macam, bahkan ada yang dibuat seperti rumah, tumpeng, hingga berbentuk lapangan sepak bola.
Ogi mengatakan, Festival Beubeutian ini diharapkan juga dapat menjadi daya tarik wisata Desa Cisayong. Desa yang terletak dekat Gunung Galunggung itu dinilai mempunyai banyak potensi untuk menjadi destinasi wisata. “Jadi dibuat agenda tahunan untuk menarik minat wisatawan,” ujar Ogi.