REJABAR.CO.ID, BANDUNG -- Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Islam Bandung (LPPM Unisba) menyelenggarakan Workshop bertemakan Wisata Halal yang dilaksanakan secara luring di Gedung Dekanat Unisba.
Kegiatan ini dihadiri oleh perwakilan pokdarwis dan pengelola desa wisata Desa Alamendah, Desa Cikole, Desa Dayeuhkolot, Desa Sugihmukti, Desa Wantilan, Desa Lebakmuncang, dan Desa Cipanas.
Hasil diskusi dari workshop ini diharapkan, dapat memberikan masukkan dan semangat dalam pengembangan konsep halal di desa wisata dan memanfaatkan potensi-potensi yang ada.
Workshop ini menghadirkan empat orang narasumber yaitu Dr Imam Indratno, ST, MT (Kepala Pusat Pengembangan Wilayah dan Teknologi Lingkungan Hidup), Sumaryadi, MM (Anggota Pusat Halal National Hotel Institute (NHI)), Yoharman Syamsu, AMd Par, S Sos, MSi (Kepala Bidang Pengembangan Destinasi Disparbud Kabupaten Bandung), dan Weishaguna, ST MM (Dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Unisba).
Lebakmuncang, dan Desa Cipanas. Hasil diskusi dari workshop ini diharapkan dapat memberikan masukkan dan semangat dalam pengembangan konsep halal di desa wisata dan memanfaatkan potensi-potensi yang ada.
Kegiatan Workshop dimulai dengan pemaparan Dr Imam Indratno, ST MT, yang menyampaikan mengenai definisi desa wisata halal yang pada hakikatnya merupakan sebuah integrasi antar aspek-aspek desa wisata yaitu SDM unggul, atraksi, amenitas, aksesibilitas, dan aktivitas yang harus memenuhi kriteria halal dalam pelaksanaannya.
“Pengembangan desa wisata halal harus berangkat dari keinginan untuk menjalin hubungan baik dengan Tuhan (hablum minallah), hubungan baik dengan sesama manusia (hablum minannas), dan hubungan baik dengan alam (hablum minal alam)," ujar Imam, Sabtu (9/9/2023).
Pengembangan desa wisata halal, kata dia, pada prinsipnya tidak akan terlepas dari aspek inklusivitas (inclusivity) dan keberlanjutan (sustainability).
Imam mengatakan, aspek inklusivitas (inclusivity) berkaitan dengan hal-hal seperti kesetaraan, kolaborasi, dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pembangunan wisata halal. Sedangkan keberlanjutan (sustainability) berfokus pada pengembangan keberlanjutan ekonomi, lingkungan, dan sosial budaya internal desa wisata halal.
Menurutnya, menimbang desa wisata halal memiliki banyak potensi yang perlu dikembangkan secara komprehensif dan belum adanya aturan terstruktur mengenai tata ruang desa wisata pada rencana detail tata ruang (RDTR), maka diperlukan masterplan desa untuk menjawab permasalahan tersebut.
Saat ini, kata dia, di Indonesia, kebanyakan desa wisata halal tidak berkembang. Karena, proses komunikasi yang dilakukan antar stakeholder dan pelaku wisata masih belum baik dikarenakan tidak memiliki hubungan resonansi pada frekuensi yang sama.
Sementara menurut Sumaryadi, pengelolaan desa wisata ramah muslim harus memperhatikan apa saja kebutuhan dan keinginan wisatawan muslim saat melakukan kunjungan wisata.
Pada kasus di Indonesia, Sumaryadi menyoroti bahwa seringkali desa wisata hanya menyediakan paket-paket wisata yang berfokus pada kegiatan live-in dengan jangka waktu yang lama.
“Namun, jika diperhatikan ternyata pengembangan paket-paket wisata tidak harus selalu terbatas pada kegiatan semacam itu, terkadang paket-paket live-in dengan jangka waktu sebentar dan hanya berfokus pada beberapa atraksi wisata bisa menjadi opsi pengembangan paket wisata,” paparnya.
Sumaryadi menilai wisata ramah muslim adalah wisata yang mampu memenuhi kebutuhan wisatawan muslim. Dengan catatan, wisatawan non-muslim boleh berkunjung tetapi tetap menaati peraturan yang ada.
Sumaryadi mengatakan, pengembangan desa wisata ramah muslim lebih jauh dikembangkan dengan dasar pengembangan desa wisata. Namun, lebih ditekankan pada intervensi atribut islami pada komponen-komponen yang ada di desa wisata seperti SDM unggul, atraksi, amenitas, aksesibilitas, dan aktivitas.
“Pengembangan desa wisata ramah muslim juga tidak boleh hanya terfokus pada pegembangan desa internalnya saja (sustainability), namun harus juga memperhatikan komunikasi dan kolaborasi dengan pihak eksternal agar terjadi kesatuan visi untuk membangun desa tersebut,” katanya.
Menurut Sumaryadi, untuk membangun rantai halal di desa wisata ramah muslim dapat dilakukan dengan melakukan tahapan seperti membentuk komitmen yang tinggi untuk mengembangkan halal dalam desa wisata, membangun kelompok usaha yang sama-sama berkomitmen untuk menjalankan kegiatan halal, membentuk jaringan dan rantai pasok wisata halal.
"Sehingga sistem hulu-hilir wisata terjamin kehalalannya, membangun jejaring dan kerja sama dengan desa wisata sekitar sehingga terbentuk sebuah lingkungan halal, dan mengembangkan standar (kurasi dan sertifikasi halal)," katanya.