Latar Belakang Penggunaan Flare Gas di Indonesia
Di Indonesia, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mencatat adanya 370 flare gas stack nasional dengan total volume flare gas sebesar 207 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD).
Komposisi gas ini sebagian besar adalah metana (C1) sebesar 72,55 persen dan impurities CO2 sebesar 7,33 persen. Angka ini menunjukkan besarnya potensi gas yang sebenarnya bisa dimanfaatkan daripada dibakar.
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah telah menetapkan berbagai regulasi dan target, termasuk dalam Renstra Ditjen Migas tahun 2020-2024 yang mencanangkan target Zero Routine Flaring 2030. Salah satu langkah konkret yang diambil adalah revisi Permen ESDM Nomor 31 Tahun 2012 menjadi Permen ESDM Nomor 17 Tahun 2021.
Revisi ini memperketat batas pembakaran gas suar dari 5 MMSCFD menjadi 2 MMSCFD untuk lapangan minyak bumi, dengan harapan mendorong kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) untuk menurunkan pembakaran gas suar dan meningkatkan pemanfaatan gas tersebut.
Regulasi ini tidak hanya bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, tetapi juga untuk meningkatkan efisiensi dan kemandirian energi nasional. Dengan mengurangi pembakaran gas suar, diharapkan gas alam yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan domestik, seperti bahan bakar untuk pembangkit listrik, bahan bakar industri, atau bahan bakar rumah tangga.
PT SIE dan Inovasi Teknologi Pengolahan Gas Suar
PT SIE menggunakan teknologi Pressure Swing Adsorbent (PSA) dalam pengolahan gas suar. Teknologi ini memiliki berbagai keunggulan yang menjadikannya solusi efektif dalam mengurangi flaring dan memanfaatkan gas suar. PSA bekerja dengan cara menyerap gas-gas tertentu dari campuran gas di bawah tekanan tertentu, kemudian melepaskannya kembali saat tekanan diubah.
Adapun beberapa keunggulan dari teknologi PSA di antaranya adalah sebagai berikut.
Pertama....