REJABAR.CO.ID, BANDUNG--Perda yang sudah disahkan DPRD Kota Bandung, seringkali tidak diketahui oleh warga karena kurangnya sosialisasi. Selain itu, menurut Anggota DPRD Kota Bandung Juniarso Ridwan ada beberapa Perda yang tak diketahui warga karena tidak dilengkapi Perwal (Peraturan wali kota).
Juniarso mencontohkan, Perda yang kurang sosialisasi tersebut misalnya Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 5 Tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung Tahun 2022-2042. Menurutnya, akibat kurangnya sosialisasi berdampak pada banyaknya pelanggaran dan lebih memprihatinkan lagi pelanggaran-pelanggaran tersebut seperti dibiarkan.
"Penegakan peraturan berkaitan dengan pemanfaatan ruang perlu diperhatikan, karena selama ini ketidak tegasan kepada pelanggar terhadap tata ruang dapat disebutkan tidak terkontrolnya alih fungsi ruang maupun bangunan," ujar Juniarso yang juga Politis Asal Golkar ini, Selasa (22/10/2024).
Juniarso mengatakan, terhadap Perda RTRW ini ternyata belum dilengkapi Perwal, sebagai penjabaran lebih lanjut. Sehingga, petugas di lapangan akan mengalami kesulitan untuk menertibkan pelanggaran, karena membutuhkan arahan teknis. Dalam hal ini, harus mengacu kemana terkait penindakannya terhadap pelanggaran yang ada di lapangan.
"Bagaimanapun perlu ada pengaturan lebih lanjut melalui peraturan Wali Kota. Nah ini yang bikin bingung petugas di lapangan karena tidak ada pegangan operasional. Saya juga tidak mengerti kenapa Perwal selalu tidak segera dibuat,"katanya.
Menurut Juniarso, tidak adanya Perwal akan menimbulkan masalah karena menindak pelanggaran harus ada dasar hukumnya yang jelas, sebagai turunan atau tindaklanjut dalam lingkup teknis. Di sisi lain, dalam penetapan tata ruang itu sering juga beririsan dengan pengembangan wilayah. Dalam hal ini apabila terdapat perubahan peruntukan, misalnya yang semula sawah berubah jadi perumahan. Artinya disini terdapat pengembangan wilayah.
Juniarso menjelaskan, di dalam RTRW itu ada pengaturan untuk kawasan perumahan sehingga menjadi pegangan para pengembang membuat komplek perumahan di berbagai tempat. Tetapi realitas yang sulit ditampik, kini banyak rumah tinggal berubah menjadi resto, kafe, penginapan, kantor dan tempat usaha lainnya.
"Pada perkembangannya pengaturan Tata Ruang akhirnya tambah tidak terkendali karena lebih banyak dipengaruhi oleh implikasi kepentingan politik," katanya.
Menurutnya, banyaknya kebijakan yang sarat dengan ķepentingan politik, seperti dorongan kebutuhan untuk membangun kantor kelurahan, kecamatan , koramil, Polsek atau kantor pemerintah lainnya di kawasan perumahan, otomatis lambat laun akan membuat tumbuh warung, toko atau bentuk usaha layanan lainnya.
Kecenderungan alih fungsi perumahan, kata dia, terus berlanjut karena kelemahan dari aparat sendiri sebagai akibat kurang mampu merespon tentang kecenderungan dan mengantisipasi perkembangan yang akan datang. Selain itu, dalam RTRW pengaturan sanksi masih bersifat naratif dan masih jauh bagi kepentingan operasional teknis.
Penanganan bagi pelanggar pun, kata dia, seringkali masih terpaku pada hal-hal yang bersifat kuratif administratif.
Sebagai contoh, apakah izinnya ditinyau atau dibatalkan atau dicabut, rupanya belum pernah terjadi sampai sekarang juga yang diangkat ke publik. "Jadi saya menilai, artinya harus ada turunan aturan-aturan dari Perda tersebut, dari pasal-pasal yang berkaitan dengan pelanggaran. Jadi harus ada uraian teknis sebagai penjabaran tindak lanjut pengaturannya," katanya.
Juniarso berharap kepada pemerintah, agar Perda yang sudah dibuat dengan memakan waktu dan biaya cukup besar agar disosialisasikan secara masif dan ditindaklanjuti dengan penyusunan Perwal. Sehingga, lebih bernilai operasional.