REJABAR.CO.ID, BANDUNG-- Gubernur Jawa Barat telah menerbitkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor 561.7/Kep.838-Kesra/2024 tentang Perubahan Atas Keputusan Gubernur Jawa Barat Nomor 561.7/Kep.802-Kesra/2024 terkait Upah Minimum Sektoral Kabupaten/Kota (UMSK) di Jawa Barat Tahun 2025, pada 27 Desember 2024 lalu. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat (Jabar), menyayangkan keputusan tersebut.
Ketua Apindo Jabar Ning Wahyu Astutik menilai, perubahan SK Gubernur terkait UMSK membawa dampak buruk bagi Jabar. Pertama, perubahan ini menciptakan ketidakpastian hukum yang mengikis kepercayaan investor dan mengurangi daya tarik Jabar sebagai destinasi investasi.
Kedua, perubahan akibat tekanan pihak tertentu menjadi preseden buruk di masa mendatang, menunjukkan regulasi dibuat bukan berdasarkan prinsip hukum dan keadilan, melainkan pengaruh eksternal, yang melemahkan wibawa pemerintah dan mengurangi legitimasi regulasi yang diterbitkan.
"Ketiga, ketidakpastian ini mendorong relokasi perusahaan ke provinsi lain atau bahkan negara lain yang dianggap lebih stabil dan ramah terhadap investasi. Sehingga, dapat memicu gelombang PHK di Jabar dan akan memperburuk tingkat pengangguran di Jabar yang saat ini sudah ada di posisi tertinggi," ujar Ning kepada wartawan, Jumat (3/1/2025).
Dilihat dari segi hukum, kata Ning, pihaknya menilai SK tersebut cacat hukum karena melanggar aturan yang ada di Permenaker No 16 tahun 2024 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2025. Karena, penetapan SK ini melewati batas waktu maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Ayat (2) yang menyebutkan bahwa UMSK tahun 2025 harus ditetapkan paling lambat 18 Desember 2024, sedangkan SK Gub tentang UMSK baru ditetapkan pada 27 Desember 2024.
Selain itu, kata dia, SK ini mencakup sektor padat karya dan beberapasektor industri lain yang seharusnya tidak memenuhi kriteria sektor tertentu pada Pasal 7 Ayat (3), yang mengatur bahwa sektor tertentu adalah sektor dengan karakteristik dan risiko kerja yang berbeda dari sektor lainnya. Serta, menuntut pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi khusus. Ketiga, penetapan SK ini tidak melalui kesepakatan Dewan Pengupahan, melainkan dilakukan secara sepihak. Hal ini bertentangan dengan Pasal 9 Ayat (2), yang menyatakan bahwa UMSK harus didasarkan atas kesepakatan Dewan Pengupahan Kab/Kota.
"Kami menilai, SK UMSK terbit tidak sesuai dengan Prinsip dan Hukum Administrasi Pemerintahan. SK ini melanggar Pasal 10 Ayat (1) juncto Pasal 52 Ayat (1) UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Karena, SK ini tidak memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB), seperti asas kepastian hukum, kemanfaatan, ketidakberpihakan, keterbukaan, dan lainnya," paparnya.
Selain itu, kata dia, penetapan tersebut juga melanggar syarat sahnya keputusan seperti syarat di mana SK harus dibuat sesuai prosedur. Jadi, SK Gubernur tentang UMSK ini bertentangan dengan regulasi. "Kami juga mempertanyakan. Apakah sebuah kebijakan yang secara jelas cacat hukum tetap harus diikuti?" katanya.
Dengan semua pertimbangan yang sudah disampaikan, Ketua APINDO Jawa Barat, Ning Wahyu, didampingi oleh Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik APINDO Jabar, Yohan Ibrahim, menegaskan lagi, apabila produk SK ini cacat hukum, maka mengikuti yang salah akan semakin salah. Oleh karena itu, Ning Wahyu meminta Pengusaha untuk pandai-pandai menyikapi hal ini.
"Kami berpesan kepada para auditor compliance perusahaan untuk cerdas dan adil, memilah yang benar dan yang salah, serta mengikuti kebenaran berdasar kaidah-kaidah hukum yang berlaku," katanya.
Ning pun menyayangkan sektor padat karya dimasukkan ke dalam salah satu sektor di SK UMSK. Padahal, sektor ini melibatkan banyak tenaga kerja dan sangat rentan terhadap perubahan upah. Di tengah situasi sulit saat ini, kebijakan yang memberatkan sektor padat karya dapat mengancam keberlangsungan usaha dan lapangan kerja. "Padahal, Pak Presiden telah menekankan pentingnya penyelamatan sektor ini sebagai pilar ekonomi nasional," katanya.
Meskipun, kata dia, padat karya yang dimaksud dalam SK ini hanyalah padat karya untuk perusahaan multinasional, yang merupakan perusahaan yang beroperasi di lebih dari satu negara. Ini berbeda dengan perusahaan penanaman modal asing (PMA), yang sahamnya dimiliki oleh pihak asing, juga berbeda dengan perusahaan internasional, yang beroperasi di Indonesia tetapi melakukan ekspor produk ke berbagai negara.
Sebagai contoh, kata dia, perusahaan yang memproduksi merek-merek internasional seperti New Balance, Nike, Adidas tidak serta-merta dianggap multinasional, kecuali perusahaannya terdapat di berbagai negara. Hal ini menunjukkan bahwa definisi perusahaan multinasional bergantung pada perusahaannya, bukan merek atau produknya.
"Dalam SK ini, UMSK hanya berlaku bagi perusahaan yang mampu membayarnya. Jika perusahaan tidak mampu, maka dapat dilakukan perundingan bipartit antara Pengusaha dengan Pekerja sesuai ketentuan yang disebutkan dalam Diktum Kedua-A SK Gubernur Jabar tentang UMSK," katanya.