REJABAR.CO.ID, CIMAHI -- Pemkot Cimahi kesulitan mengatasi permasalahan sampah yang menggunung di wilayahnya. Penetapan status tanggap darurat selama sepekan terakhir belum mengakhiri masalah pelik dalam pengelolaan sampah di Kota Cimahi.
Sebab, TPA Sarimukti di Cipatat, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat yang menjadi tempat pembuangan akhir andalan kondisinya sudah over kapasitas yang berdampak terhadap pembatasan. Kota Cimahi hanya mendapat kuota 17 rit atau sekitar 95 ton per hari, yang tidak sebanding dengan produksi sampah yang mencapai 200 ton lebih.
Wakil Wali Kota Cimahi, Adhitia Yudisthira mengatakan, dalam masa tanggap darurat yang berakhir hari ini, Pemkot Cimahi sudah mengajukan tambahan kuota pembuangan sampah di TPA Sarimukti ke Pemprov Jabar dari 17 rit menjadi 27 rit dalam rangka pembersihan di setiap TPA.
"Kalau seandainya dikasih kuota sampai 10 ritase berarti ada 27 rit per hari, insyaAllah selesai. Sampai hari ini belum ada jawaban," ujar Adhitia, Senin (28/4).
Upaya lainnya kini sedang dijajaki Pemkot Cimahi untuk mengatasi masalah sampah, yakni bekerjasama dengan pengelola swasta di daerah Bogor. Anggaran sekitar Rp 600 juta dari biaya tak terduga (BTT) APBD 2025 sudah disiapkan karena biaya yang dikeluarkan cukup besar.
"Anggaran sudah siap. Tarifnya kalau tidak salah Rp 378 ribu per ton, belum dengan transportasi, itu yang sedang kami hitung. Dengan dinaikan status tanggap darurat sampah, maka kita bisa menggunakan anggaran BTT," kata Adhitia.
Pengetatan penarikan sampah dari masyarakat pun diberlakukan Pemkot Cimahi untuk mengurai sampah. Dimana usai masa tanggap darurat ini, penjadwalan pembuangan sampah ke TPS sudah diberlakukan. Setiap Senin, Rabu dan Sabtu TPS hanya akan menerima sampah organik. Kemudian Selasa dan Kamis sampah anorganik serta Jumat dan Minggu khusus clean up TPS.
Artinya, masyarakat diwajibkan memilah sampah anorganik dan organik sejak dari rumah. Kebijakan itu diyakini bakal mengurangi beban pengelolaan sampah hingga 40 persen. Sehingga nantinya sisanya akan ditangani Pemkot Cimahi.
"Hasil ekspos dari Dinas Lingkungan Hidup kalau pemilahan itu berhasil dilakukan di masing-masing rumah tangga, itu me-reduce hingga 40 persen. Jadi 60 persen yang kita tangani," kata Adhitia.
Di Kota Cimahi juga sudah dibangun tempat pengolahan sampah Refuse Derived Fuel (RDF) di Jalan Kolonel Masturi, Kelurahan Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara. Tempat itu memiliki kapasitas mengolah sampah hingga 50 ton per hari jika sudah beroperasi optimal.
"Kalau hasil evaluasi ternyata bagus, itu bisa menyelesaikan 50 ton sehari. Bisa dibayangkan kalau 40 persen tereduce oleh pemilihan, sisanya di TPST Santiong, sisanya TPST lain di Kota Cimahi, selesai sudah masalah sampah," kata dia.
Pemkot Cimahi juga berencana akan melakukan pengadaan incinerator yang digunakan untuk membakar sampah. Mesin itu akan digunakan di beberapa TPS. "Belum tentu (di semua TPS) karena tiap wilayah memiliki karakteristik yang berbeda dalam hal produksi dan pengolahan sampah, ada yang perlu dan tidak," tandasnya.
Terpisah, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Cimahi, Chanifah Listyarini mengakui selama masa tanggap darurat ini masih ada sampah yang belum terangkut ke TPA Sarimukti. Khususnya di lokasi TPS liar.
"Walaupun memang masih ada beberapa titik yang ada (sampahnya), terutama yang jalur kami tidak clean up dulu karena masyarakat buang sampah liar. Sudah bersihin ada lagi, ada lagi. Diperkirakan ada 4 ritase," kata Chanifah.
Untuk opsi kerja sama dengan swatsa yang mengolah sampah, kata dia, pihaknya masih melakukan penjajakan dengan sejumlah perusahaan swasta. "Kami minggu kemarin menjajaki di beberapa tempat, kami harus membandingkan harga, kami cari yang termurah dan mudah," kata dia.