Pada Pasal 4 perbup tersebut disebutkan bentuk-bentuk maksiat. Dalam Pasal 4 huruf c disebutkan, perbuatan/kegiatan yang secara langsung atau tidak langsung melakukan atau mendukung tindakan yang mengarah pada: homoseks, biseksual, pedofilia, dan orientasi seksual kepada hewan/benda.
Pemkab Garut, sebagaimana ketentuan dalam Pasal 6, disebut bertanggung jawab dalam pencegahan perbuatan maksiat. Disebutkan upaya pencegahan itu, antara lain komunikasi, informasi, dan edukasi, serta sosialisasi dan penyuluhan kesehatan. Selain itu, penyelenggaraan konseling, serta penyelenggaraan rehabilitasi baik fisik, mental, dan sosial terhadap korban dari perbuatan maksiat.
Dalam upaya melaksanakan pembinaan dan pengawasan, pemerintah daerah dapat melakukan langkah terpadu dengan stakeholder terkait, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam Pasal 9 perbup itu juga terdapat susunan tim terpadu yang akan bertugas untuk melakukan pencegahan, pembinaan, dan pengawasan. Tim terpadu itu diketuai oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Garut.
Perbup itu juga berisi ajakan kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan pencegahan perbuatan maksiat. Adapun peran masyarakat adalah untuk melakukan komunikasi, informasi, dan edukasi; sosialisasi; dan/atau memberikan pendampingan terhadap korban dari perbuatan maksiat.
Bukan karena desakan
Bupati Garut sebelumnya mengatakan, diterbitkannya perbup anti perbuatan maksiat, yang mencakup LGBT, bukan karena adanya desakan dari masyarakat. “Ini bukan karena desakan, tapi bagian dari tanggung jawab Pemkab Garut,” kata dia.
Ihwal adanya sejumlah pihak yang mengkritisi perbup tersebut, Bupati mengaku, sebagai kepala daerah, hanya fokus dalam upaya melindungi masyarakat dari perilaku LGBT. “Karena saya harus melindungi masyarakat. LGBT itu merupakan bagian yang bertentangan dengan hukum agama,” katanya.
Karena itu, Bupati menyampaikan larangan perilaku LGBT di Kabupaten Garut. “Jadi, dilarang di Garut. Itu merupakan perbuatan tercela,” kata Bupati.