REJABAR.CO.ID, JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) merilis data petugas yang meninggal dunia dan sakit selama proses pemungutan dan penghitungan suara pemilihan umum (pemilu) 2024. Data itu dihimpun selama periode 14-15 Februari 2024.
Ketua KPU Hasyim Asy'ari mengatakan, berdasarkan data per Jumat (16/2/2024) pukul 18.00 WIB, terdapat 35 orang badan ad hoc pemilu yang dilaporkan meninggal dunia. Dari total 35 orang itu, sebanyak 23 orang di antaranya adalah petugas kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS).
"PPS tiga orang, KPPS 23 orang, Linmas 9 orang," kata Hasyim melalui keterangan tertulis, Jumat malam.
Selain itu, sebanyak 3.909 orang petugas juga dilaporkan sakit. Dari total 3.909 orang, mayoritas yang sakit adalah petugas KPPS yaitu 2.878 orang. Sementara PPK 119 orang, PPS 596 orang, dan linmas 316 orang.
Berdasarkan sebaran kasus per provinsi, jumlah petugas yang meninggal dunia selama proses pemungutan dan penghitungan suara paling banyak terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di dua provinsi itu, masing-masing terdapat tujuh orang petugas yang meninggal dunia.
Namun, secara total kasus, kejadian di Provinsi Jawa Barat (Jabar) menjadi yang paling banyak. Di Jabar, dilaporkan ada 2.001 kasus, dengan rincian 1.995 orang sakit atau kecelakaan (tertinggi dibanding provinsi lain) dan enam orang meninggal dunia.
Hasyim mengatakan, santunan kecelakaan kerja yang meninggal dunia bagi penyelenggara ad hoc pemilu diatur berdasarkan Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2022 dan secara teknis diatur dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 59 Tahun 2023.
"Besaran santunan telah diatur berdasarkan Surat Menteri Keuangan S-647/MK.02/2022 melalui satuan biaya masukan lainnya (SBML) tahapan pemilihan umum dan tahapan pemilihan. Untuk besaran santunan sebesar Rp 36 juta dan untuk bantuan biaya pemakaman sebesar Rp 10 juta," kata dia.
Sebelumnya, Komisioner KPU Idham Holik mengatakan, kasus petugas yang meninggal dunia pada pemilu 2024 lebih sedikit dibandingkan pemilu 2019. Namun, masih adanya korban meninggal dunia menunjukkan bahwa beban kerja badan ad hoc tak jauh berbeda dengan pemilu 2019. "Ya mekanisme pemungutan penghitungan suara masih sama," kata dia.
Idham mengatakan, pihaknya telah mengusulkan untuk membuat proses penghitungan suara menjadi dua panel. Usulan itu disampaikan saat KPU melakukan konsultasi dengan DPR untuk membahas rancangan Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2023.
Ia menjelaskan, usulan itu mengusung dua panel surat suara di TPS. Panel A akam diperuntukkan penghitungan suara pemilihan presiden dan DPD. Sementara Panel B dilakukan untuk menghitung suara pemilihan DPR RI, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.
"Menurut kajian kami yang telah melakukan simulasi di Kota Tangerang, Kota Bogor, Palembang, Kutai Kartanegara, itu ada efisiensi waktu," katanya.
Namun, sistem yang disetujui tetap satu panel. Alhasil, proses perhitungan suara suara dilakukan sampai dengan dini hari.
Berdasarkan Undang-Undang Pemilu, penghitungan itu dilakukan setelah pemunguta suara. Bahkan, Mahkamah Konstitusi pernah menerbitkan putusan untuk ekstensi waktu 12 jam apabila surat suara belum selesai dihitung di hari pemungutan suara. "Karena proses penghitungan surat suara tak boleh berhenti. Harus selesai di TPS," kata Idham.