Ia mengatakan bahwa setiap tenant harus mengumpulkan sampah mereka secara berkala ke lokasi yang telah ditentukan. Sampah yang memiliki nilai, seperti sampah organik untuk pakan maggot atau bahan kompos, harus dikelola secara terpisah.
"TPA itu tempat pemrosesan akhir, bukan tempat pembuangan akhir. Yang boleh masuk ke TPA hanyalah residu yang tidak bisa diolah di kawasan ini," kata dia.
Ia juga meminta pengelola rest area untuk menyampaikan imbauan secara tertulis kepada pengunjung mengenai tata kelola sampah. Bahkan ia menyarankan agar penyediaan tempat sampah dikurangi untuk mendorong masyarakat membawa pulang dan mengelola sampah masing-masing.
Hanif juga mengingatkan bahwa pengelola kawasan memiliki kewajiban hukum untuk mengatur sampah sesuai undang-undang. Pelanggaran dalam pengelolaan sampah, seperti praktik open dumping akan dikenakan sanksi tegas, termasuk pemberian status tersangka bagi pihak yang lalai.
Untuk meningkatkan kesadaran, ia mengusulkan pengelola rest area merekrut masyarakat sebagai duta lingkungan dan kebersihan. Mereka bertugas mengedukasi pengunjung untuk menjaga kebersihan lingkungan.
"Jika ada yang melanggar aturan terkait sampah, pengelola kawasan bisa memberikan sanksi atau denda sesuai regulasi daerah. Ini penting untuk membangun karakter bangsa yang peduli lingkungan," kata Hanif.
Ia optimistis dengan kolaborasi yang baik antara pengelola, pengunjung, dan masyarakat, rest area akan tetap bersih dan nyaman, mencerminkan budaya pengelolaan sampah yang berkelanjutan.