REJABAR.CO.ID, BANDUNG — Provinsi Jawa Barat kembali menempati posisi tertinggi dalam angka pengangguran terbuka secara nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, sebanyak 1,72 juta jiwa tercatat menganggur di provinsi ini.
Sementara itu, data BPS yang dirilis Senin (5/5/2025) mencatat, pertumbuhan ekonomi Jawa Barat pada triwulan I 2025 mencapai 4,98 persen (year-on-year), dengan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar Rp 734,08 triliun atas dasar harga berlaku, dan Rp 448,06 triliun atas dasar harga konstan 2010.
Capaian tersebut dinilai belum selaras dengan perbaikan kualitas hidup masyarakat. Sorotan publik justru tertuju pada prioritas kebijakan Pemprov Jabar yang dinilai belum menyentuh akar persoalan. Padahal, Pemprov belakangan gencar merayakan capaian pertumbuhan ekonomi.
Anggota DPRD Jawa Barat dari Fraksi PKB, Maulana Yusuf menilai euforia pemerintah terhadap angka-angka makro justru mengaburkan kenyataan sosial yang memprihatinkan.
“Angka pengangguran kita masih yang tertinggi se-Indonesia. Ini menunjukkan ada jurang antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia. Sayangnya, pemerintah terlihat lebih sibuk membangun pencitraan,” ujar Maulana Yusuf melalui pesan tertulis kepada wartawan, Selasa (13/5/25).
Persoalan pengangguran semakin kompleks ketika dikaitkan dengan darurat pendidikan. Berdasarkan data BPS per November 2024, tercatat 658.831 anak di Jawa Barat tidak sedang bersekolah. Jumlah tersebut terdiri dari 164.631 anak yang putus sekolah, 198.570 yang tidak melanjutkan pendidikan, serta 295.530 anak yang belum pernah mengenyam bangku sekolah.
Namun, pendekatan yang diambil pemerintah daerah dinilai belum menyentuh substansi masalah. Maulana Yusuf mengkritik kebijakan Pemprov yang justru mengalokasikan Rp 6 miliar dari APBD 2025 untuk mengirim 900 siswa “bermasalah” ke pelatihan militer.
“Seolah semua masalah bisa selesai lewat pendekatan militer. Ini bukan soal kedisiplinan semata, tapi akses dan keadilan pendidikan,” ucapnya.
Maulana juga menyoroti arah belanja anggaran 2025 yang dinilainya masih didominasi program simbolik dan seremonial. Ia menegaskan pentingnya kebijakan yang bersifat solutif dan berkelanjutan.
Sebagai alternatif, ia mengusulkan program Desa Vokasi, yakni pelatihan kerja berbasis potensi lokal di tingkat desa. Program ini diharapkan mampu menjawab tantangan ketenagakerjaan sekaligus memberdayakan masyarakat melalui sektor-sektor strategis seperti pertanian modern, industri kreatif, dan UMKM digital.
“Desa Vokasi perlu jadi prioritas dalam APBD Perubahan 2025. Pemerintah harus segera mulai dari sepuluh daerah dengan tingkat pengangguran tertinggi,” kata Maulana.
Ia mengingatkan bahwa persoalan sosial di Jawa Barat bukan sekadar perilaku menyimpang remaja, tetapi ketimpangan struktural yang mencakup akses pendidikan, daya serap lapangan kerja, dan lemahnya pembangunan manusia.
“Kita butuh pendekatan yang lebih manusiawi, menyentuh akar masalah, dan berorientasi pada pemberdayaan,” kata dia.