Euforia publik, histeria netizen, yang terjadi bukan hanya di Jawa Barat terhadap Dedi adalah bukti betapa kekuatan narasi digital bisa menjadi jembatan yang kokoh antara pemimpin dan rakyat. Ia tidak sekadar “viral”, tetapi menjelma menjadi figur yang dipercaya dan dicintai.
Dari seorang pejabat daerah, menjelma content creator rakyat, kini menjadi pemimpin provinsi terbesar di Indonesia. Kisah Dedi Mulyadi adalah contoh nyata bagaimana media sosial hari ini bukan sekadar panggung pencitraan, melainkan ruang otentik untuk membangun kedekatan, membentuk persepsi, dan memobilisasi kepercayaan. Sang Gubernur Konten kini tinggal menuai hasil dari aktivitas panjangnya di media sosial.
Namun demikian, kecintaan publik jangan sampai membuat mereka menutup mata jika ada langkah dan kebijakan Dedi Mulyadi yang perlu dikritisi. Adanya pengamat yang menyampaikan kritik, komika yang me-roasting, atau siapa pun yang mempertanyakan kebijakannya secara terbuka dan berbasis data, itu adalah bagian dari ekosistem demokrasi yang sehat. Nanti akan diuji di ruang publik, argumentasi mana yang memiliki bobot lebih baik, kebijakan mana yang lebih tepat.
Sebagai tokoh publik yang tumbuh dari bawah, Dedi nyatakan terbuka terhadap kritik yang ditujukan padanya. Media sosial boleh jadi telah membentuk panggung transparansi, tetapi itu tidak boleh mengabaikan dialog, kolaborasi, dan harmonisasi dengan mitra kerja, baik legislatif, birokrasi, maupun masyarakat sipil. Jangan sampai ada “orang dekat” yang merasa ditinggalkan.
Masyarakat pun perlu memberi ruang bagi siapa pun yang menyuarakan kritik, karena “bapak aing” pun butuh masukan demi kebijakan yang lebih berkualitas. Justru dari kritik dan evaluasi yang konstruktif, kepemimpinan dapat bertumbuh menjadi lebih matang dan visioner. Dukungan publik harus disertai kewaspadaan kritis agar pemerintah tidak terjebak pada ilusi popularitas.
Semua itu penting dilakukan agar pemerintahan Provinsi Jawa Barat yang kini dipimpin Dedi Mulyadi benar-benar menjadi pemerintahan yang paripurna dalam berbagai dimensi: sosial, politik, budaya, ekonomi, dan tata kelola. Keberhasilan sejati seorang pemimpin tidak hanya diukur dari banyaknya penonton, tetapi dari kedalaman dampak dan keberlanjutan perubahan yang ia ciptakan.