Selasa 15 Jul 2025 22:13 WIB

Belajar Ketahanan Pangan Ala Kampung Adat Cireundeu, Dibalik Hebohnya Beras Oplosan

Lebih dari satu abad Kampung Adat Cireundeu mengkonsumsi beras dari singkong

Rep: Ferry Bangkit Rizki / Red: Arie Lukihardianti
Entis Sutisna ialah salah satu generasi penerus Kampung Adat Cireundeu yang sudah mengkonsumsi rasi sejak kecil.
Foto: Ferry Bangkit
Entis Sutisna ialah salah satu generasi penerus Kampung Adat Cireundeu yang sudah mengkonsumsi rasi sejak kecil.

REJABAR.CO.ID,  CIMAHI -- Warga Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan, Kota Cimahi, Jawa Barat tak ambil pusing dengan maraknya beras oplosan yang diungkap Menteri Pertanian (Mentan), Andi Amran Sulaiman. Karena, beras padi bukanlah pangan utama bagi mereka.

Warga Kampung Adat Cireundeu selama ini mengkonsumsi beras dari singkong atau biasa disebut rasi yang sudah bertahan lebih dari satu abad. Kebiasaan itu turun-temurun dilestarikan oleh generasi penerusnya. Ada sekitar 60 kepala keluarga (KK) yang masih mempertahankan rasi sebagai pangan utamanya.

Baca Juga

Entis Sutisna ialah salah satu generasi penerus Kampung Adat Cireundeu yang sudah mengkonsumsi rasi sejak kecil. Pada Selasa (15/7/2025), pria berusia 48 tahun itu memperlihatkan tempat untuk memproduksi singkong menjadi beras. Sayang, kali ini ia sedang tidak mengolahnya.

Entis yang merupakan generasi keempat dari keturunnya itu hanya memperlihatkan beras singkong yang sudah diolah. Warnanya putih seperti terigu yang sama-sama berbahan dasar singkong. Hanya saja tekstur rasi lebih kasar dan padat. "Dari kecil memang udah diajarkan dan dibiasakan makan rasi sama orang tua, dan sampai sekarang," kata Entis.

Pada dasarnya, produksi rasi singkong hampir mirip dengan padi yang biasa diolah di penggilingan. Yaitu sama-sama digiling. Mulanya, singkong yang sudah dipanen dari kebun itu dikupas kemudian digiling dan diperas lalu dikeringkan 2 sampai 3 hari hingga menjadi granul.

Serbuk singkong itulah yang kemudian ditanak menjadi nasi. Dalam sekali produksi, Entis biasa mengolah hingga 2 kwintal singkong yang diperkirakan bisa menghasilkan hingga 30 kilogram beras. Ia tak bisa memproduksi rasi secara massal karena bahan bakunya cukup terbatas.

"Rata-rata punya kebun 6-7 tempat karena tidak ada panen raya, jadi bergilir jadi biasanya 12 bulan sekali panen, ada yang umur singkongnya 2-6 bulan bisa dipanen. Jadi kita enggak banyak produksinya," kata Entis.

Hasil produksi rasi 30 kilogram itu cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan Entis dan keluarganya dalam beberapa bulan. Jika stoknya berlebih, terkadang rasi miliknya juga dijual kepada warga yang berasal dari luar Kampung Adat Cireundeu. "Biasanya ada juga yang pesen dari luar, misalnya yang phobia sama nasi larinya ke beras singkong. Sekarang saya jual Rp 12 ribu per kilogramnya," kata Entis.

Kini dengan merebaknya beras padi oplosan yang beredar, Entis semakin bertekad untuk melestarikan rasi sebagai pangan utama yang juga ia wariskan kepada keturunannya. Bahkan ketika ada acara yang menghidangkan nasi, ia biasanya hanya mencicipi lauk-pauknya saja.

Bukan hanya sekedar melestarikan, namun Entis meyakini dalam beras singkong mengandung khasiat yang bisa menyembuhkan berbagai keluhan penyakit. "Jadi memang belum pernah coba nasi. Anak-anak saya kalau sekolah juga bawa bekal dari rumah. Ini bukan hanya sekedar tradisi saja, tapi ada khasiat di dalamnya," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement