Senin 21 Jul 2025 11:57 WIB

Protes Larangan Study Tour, Ribuan Pekerja Pariwisata di Jabar Geruduk Kantor Dedi Mulyadi

Pekerja Pariwisata menilai, Dedi Mulyadi pilih kasih dalam bertemu dengan masyarakat

Rep: Muhammad Fauzi Ridwan/ Red: Arie Lukihardianti
Ribuan pelaku usaha pariwisata di Jawa Barat (Jabar) menggeruduk Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (21/07/2025). Dalam aksi itu mereka meminta agar kebijakan larangan Study Tour dicabut agar para pelaku usaha pariwisata dapat bekerja kembali serta mendapatkan penghasilan.
Foto: Edi Yusuf
Ribuan pelaku usaha pariwisata di Jawa Barat (Jabar) menggeruduk Gedung Sate, Kota Bandung, Senin (21/07/2025). Dalam aksi itu mereka meminta agar kebijakan larangan Study Tour dicabut agar para pelaku usaha pariwisata dapat bekerja kembali serta mendapatkan penghasilan.

REJABAR.CO.ID,  BANDUNG--Ribuan pekerja dan pelaku usaha pariwisata di Jawa Barat (Jabar) menggeruduk kantor Gubernur Jabar Dedi Mulyadi di Gedung Sate, Kota Bandung, Jalan Diponegoro, Kota Bandung, Senin (21/7/2025). Mereka meminta Gubernur Jabar mencabut larangan study tour bagi siswa sekolah.

Pantauan, para pekerja dan pelaku usaha berorasi di depan kantor Gedung Sate, Kota Bandung. Mereka pun membunyikan suara klakson telolet di kawasan kantor Gedung Sate dan Jalan Diponegoro.

Baca Juga

Para peserta aksi demonstrasi datang dengan menggunakan puluhan bus-bus pariwisata. Bus-bus tersebut diparkir di depan kantor Gedung Sate Bandung.

Koordinator aksi solidaritas para pekerja pariwisata Jabar, Herdi Sudardja mengatakan, para pekerja pariwisata menuntut Gubernur Jabar Dedi Mulyadi untuk mencabut larangan study tour di Jabar. Ia menyebut seluruh elemen pekerja pariwisata hadir di acara aksi demo.

"Tuntutan kita itu hanya satu. Ya, cabut larangan gubernur kegiatan study tour sekolah. Dari sekolah di Jawa Barat ke luar Jawa Barat," ujar Herdi, Senin (21/7/2025).

Herdi mengatakan, mereka yang mengikuti aksi berasal dari berbagai elemen usaha transportasi pariwisata serta pekerjanya, travel agen, sektor UMKM. Herdi berharap, dapat bertemu dengan Gubernur Jawa Barat untuk menyampaikan aspirasi tersebut.

"Kita sudah melakukan beberapa upaya, termasuk audensi, termasuk para pengusaha dari sektor transformasi pariwisata Jabar, sudah melayangkan surat yang saya dapat info ke Gubernur pada bulan Mei 2025. Saat itu tidak direspon oleh yang bersangkutan oleh Gubernur," katanya.

Ia menduga Gubernur Jabar pilih kasih dalam bertemu dengan masyarakat. Sebab dengan pelaku usaha pariwisata dan pekerja pariwisata enggan bertemu. "Gubernur Jabar ini sepertinya ingin bertemu dan selalu memilih oligarki. Dengan si a, si b, katakanlah mau bertemu, tapi dengan pengusaha dari sektor pariwisata tidak mau bertemu," kata dia.

Jika belum bisa bertemu dengan Gubernur Jabar, ia mengaku bakal menyiapkan rencana berikutnya termasuk aksi lebih besar lagi. Ia menyebut aksi saat ini hanya diikuti 10 persen dari total seluruh pekerja pariwisata di Jawa Barat.

"Kalau total saya bilang tadi, yang bekerja di sektor ini di Jawa Barat sekitar 8.000. Itu yang formal. Yang informal itu sekitar 5.000. Yang berarti ada 13.000. Yang informal itu saya katakan, karena bekerja di sektor transportasi itu rata-rata informal," kata dia.

Dengan kebijakan Dedi Mulyadi, ia menyebut terjadi penurunan drastis order. Ia menyebut mereka yang menikmati pariwisata di Jawa Barat didominasi dari study tour.

"Saya katakan menu utama Jabar itu, jangan ada yang membantah. Karena Jabar bukan Bali. Menu utama Bali itu wisatawan asing. Menu utama Jawa Barat itu adalah wisatawan, study tour, anak-anak sekolah yang jumlahnya cukup besar, potensi pasarnya sangat besar," katanya.

Saat Covid-19, kata dia, terdapat bantuan dari pemerintah saat pariwisata lumpuh. Namun, saat kebijakan Dedi Mulyadi diberlakukan tidak terdapat solusi yang diberikan.

Salah seorang pekerja bus pariwisata Bukit Jaya Slamet (37 tahun) mengaku sejak kebijakan larangan studi tur diberlakukan dirinya lebih banyak nganggur. Padahal sebelum kebijakan tersebut dibuat, ia mengaku dapat beroperasi sebulan 12 kali. "Seminggu tiga kali. Sebulan 12 kali berangkat. Sekali trip Rp 500 ribu. Sebulan bisa dapat Rp 4 juta, sekarang sejuta gak nyampe," kata dia.

Di tengah situasi tersebut, ia mengatakan bekerja serabutan untuk menyambung hidup seperti menjadi sopir truk.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement