REJABAR.CO.ID, GARUT -- Penyakit difteri tengah menyebar di Kabupaten Garut sejak beberapa pekan terakhir. Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, saat ini terdapat tujuh kasus terkonfirmasi difteri yang tersebar di dua kecamatan, Pangatikan dan Tarogong Kidul.
Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Garut, Leli Yuliani, mengatakan, dari total tujuh kasus positif itu, mayoritas berasal dari Desa Sukahurip, Kecamatan Pangatikan, Kabupaten Garut. Di wilayah itu, terdapat enam kasus difteri hingga Kamis (23/2/2023).
"Sekarang sebaran sudah ada di dua kecamatan, enam kasus Pangatikan dan satu Tarogong Kidul," kata dia, Kamis siang.
Leli mengatakan, pihaknya telah melakukan rapat koordinasi untuk melakukan penanggulangan difteri, khususnya di Desa Sukahurip. Salah satu langkah yang akan dilakukan adalah melakukan imunisasi outbreak response imunization (ORI) di Desa Sukahurip pada Senin (27/2/2023).
Sasaran dalam imunisasi ORI itu adalah seluruh anak berusia dua bulan hingga 15 tahun. "Rencana awal itu, sasaran imunisasi adalah anak berusia dua bulan hingga 12 tahun. Namun ada saran dari Kemenkes untuk menaikkan usia sasaran sampai 15 tahun," ujar dia.
Pelaksanaan imunisasi ORI itu akan memakan waktu setidaknya hingga 10 bulan ke depan. Sebab, imunisasi ORI dilakukan secara tiga kali, dengan jarak nol bulan, kemudian imunisasi kedua diberikan satu bulan setelahnya, dan imunisasi ketiga diberikan enam bulan setelah imunisasi kedua.
Imunisasi ORI itu dinilai penting untuk dilakukan. Pasalnya, cakupan imunisasi dasar lengkap (IDL) di wilayah terdampak difteri itu relatif rendah. Di lingkungan lingkungan rukun warga (RW) 4, Desa Sukahurip, yang menjadi wilayah terdampak difteri paling tinggi, cakupan IDL hanya sekitar 56 persen pada 2022. Angka itu telah mengalami peningkatan dibandingkan cakupan IDL selama dua terakhir, yaitu 25 persen (2020) dan 30 persen (2021).
Sementara itu, di RW 1, Desa Sukahurip, cakupan IDL dalam tiga tahun terakhir juga relatif rendah, yaitu 40 persen pada 2020 dan 2021, serta 82,5 persen ada 2022. Secara keseluruhan, cakupan IDL di Desa Sukahurip hanya sekitar 80 persen pada 2022. Angka itu juga meningkat dibanding cakupan vaksinasi pada 2021 yang hanya sekitar 35 persen.
Leli menjelaskan, cakupan imunisasi rendah dalam tiga tahun terakhir di wilayah itu disebabkan adanya pandemi Covid-19 dan pasokan vaksin imunisasi yang menurun. Namun, di luar dua faktor itu, kesadaran masyarakat di wilayah itu untuk membawa anaknya imunisasi masih rendah.
"Sebelum pandemi Covid-19, cakupan imunisasi cukup sulit dilakukan di wilayah itu. Kesadaran masyarakat masih kurang. Jadi memang dari tahun sebelumnya itu cakupannya rendah," kata Leli.
Padahal, untuk mencegah penularan penyakit difteri, anak-anak mestinya melakukan empat kali imunisasi difteri, pertusis, dan tetanus (DPT) di rentang usia dua hingga 24 bulan. Setelah itu, anak harus kembali menjalani imunisasi DPT pada usia lima tahun, menjelang tujuh tahun, dan usia di rentang usia tujuh hingga 18 tahun.
Menurut Leli, apabila rangkaian imunisasi itu tak dilakukan, besar potensi seseorang terserang penyakit difteri. Pendapatnya itu juga didukung dengan data, di mana yang terserang difteri di Kabupaten Garut mayoritas mereka yang belum pernah menjalani imunisasi DPT atau imunisasinya tidak lengkap.
"Termasuk yang meninggal kemarin, meski tidak bisa dipastikan akibat difteri, ada yang tak lengkap bahkan tidak sama sekali imunisasi," kata dia.
Leli menambahkan, kasus difteri ini tak hanya menyerang anak-anak. Sebab, dari tujuh kasus positif yang ada di Kabupaten Garut, di antaranya adalah orang dewasa berusia di atas 18 tahun, meski mayoritas berusia anak. Namun rata-rata orang dewasa tidak bergejala ketika terserang difteri.