Bagi Edo, yang berasal dari Papua, sekolah di SMK Bakti Karya menjadi tantangan tersendiri. Apalagi ia membawa kenangan muram soal kerusuhan yang diduga akibat tindakan rasisme di Wamena pada 2019. Saat kejadian itu, 23 September 2019, ia masih duduk di kelas VII SMP.
Namun, selama bersekolah di SMK Bakti Karya, Edo mengaku tak ada yang melakukan tindakan rasisme terhadapnya. “Teman-teman saya di sini tidak rasis kepada kami orang Papua. Di sini semua sama, tidak pandang kami dari mana,” kata dia.
Awalnya Edo tertarik melanjutkan pendidikan di SMK Bakti Karya karena ingin bersekolah di luar Papua. Terlebih ia mendapat kabar dari kakaknya soal beasiswa dari sekolah itu. Ia kini tinggal di “Kampung Nusantara”, asrama tempat para siswa yang disediakan yayasan sekolah di Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi.
Saat awal-awal tinggal di asrama sekolah, Edo mengaku sempat kesulitan beradaptasi dengan siswa lain, terlebih dengan siswa dari daerah lain. Perbedaan bahasa menjadi kendala utama. Alhasil, ia lebih sering berkumpul dengan siswa yang juga berasal dari Papua.
Namun, perlahan rasa canggung luntur. Makin lama keakraban tercipta antarsiswa yang berasal dari berbagai daerah. “Dari asrama mulai saling berkomunikasi, cerita bareng, sampai sekarang semua cair,” kata siswa kelas XI di SMK Bakti Karya itu.
Menurut Edo, kelas multikultural di SMK Bakti Karya banyak memberinya pelajaran tentang budaya dari daerah lain, yang selama ini hanya didapatkannya dari buku pelajaran sekolah. Di kelas multikultural ia dapat berinteraksi langsung dengan teman dari berbagai daerah.
Edo pun bertekad membawa semua pelajaran yang didapatkan di SMK Bakti Karya ke tanah kelahirannya. “Itu satu pembelajaran yang sangat penting sekali. Tidak semua orang bisa merasakan yang saya rasakan, melihat apa yang saya lihat. Itu juga mengubah pola pikir,” kata Edo, yang berencana berkuliah sebelum kembali ke Papua itu.
Kisah di balik kelas multikultural
Adalah Ai Nurhidayat yang menjadi salah satu penggagas kelas multikultural di SMK Bakti Karya. Pria lulusan Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina itu awalnya tak memiliki niat untuk fokus di dunia pendidikan formal. Masa mudanya setelah lulus kuliah banyak dihabiskan dengan berkomunitas.
Tak lama setelah Kabupaten Pangandaran menjadi daerah otonom baru, pada awal 2013, Ai bersama sejumlah rekannya mendirikan Komunitas Sabalad. Komunitas ini berfokus pada bidang literasi, ekologi, kepemudaan, seni budaya, dan pemanfaatan teknologi.
Salah satu program Komunitas Sabalad berkeliling sekolah untuk menyediakan buku bacaan kepada para siswa. “Karena ada aktivitas literasi, kami biasa ke sekolah dan saya diminta mengajar di SMK pada 2014,” kata Ai.
Kondisi sekolah tempatnya mengajar itu cukup memprihatinkan. Sekolah swasta yang baru berdiri pada 2011 itu tak memiliki gedung. Pada awal pendiriannya, sekolah itu sempat meminjam aula kantor desa untuk tempat belajar, menggunakan madrasah diniyah, hingga akhirnya menyewa gudang kelapa.
Sekolah itu pun tak bisa bertahan lantaran minat siswa terus menurun. Hingga akhirnya Ai bersama Komunitas Sabalad mengambil alih SMK bernama Bakti Karya itu, membangun gedung sekolah, dan mengubah konsep pembelajaran di dalamnya. “Pada 2015, sekolah itu dipindahkan ke komunitas,” kata laki-laki kelahiran 22 Juni 1989 itu.
Usai mengambil alih kepengurusan SMK Bakti Karya ke Yayasan Darma Bakti Karya, Ai Nurhidayat bersama sejumlah rekannya memulai program kelas multikultural pada 2016. Terdapat sekitar 40 siswa dari berbagai daerah yang didatangkan ke sekolah itu dengan bantuan jejaring komunitas di tingkat nasional.
Para siswa dari beragam daerah itu tinggal di asrama. Seluruh siswa juga diberikan beasiswa penuh, bahkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari ditanggung oleh pihak yayasan.