Senin 23 Oct 2023 11:43 WIB

Menebar Toleransi dari Sekolah di Parigi

Pelajar dari berbagai daerah di Indonesia bisa sekolah gratis di SMK Bakti Karya.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Irfan Fitrat
Ketua Yayasan Darma Bakti Karya, Ai Nurhidayat, berkomunikasi dengan para siswa kelas multikultural di  SMK Bakti Karya, Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.
Foto:

Kepala Desa Cintakarya, Wawang Darmawan, mengaku mengapresiasi keberadaan SMK Bakti Karya di desanya. “Dengan adanya keberagaman siswa yang ada di SMK itu, di Desa Cintakarya dapat tercipta kerukunan antarumat beragama,” kata Wawang.

Bahkan, pada Juli 2023, Kampung Nusantara di Desa Cintakarya ditetapkan menjadi kampung moderasi beragama. Keberagaman etnis, budaya, dan agama, yang ada di Kampung Nusantara menjadi dasar bagi Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Pangandaran menetapkan wilayah itu menjadi kampung moderasi beragama.

Wawang mengakui sempat ada gejolak di masyarakat ketika awal kelas multikultural di SMK Bakti Karya didirikan. Ia mengisahkan, pernah ada seorang tokoh dari luar desa yang datang kepadanya dan meminta SMK Bakti Karya dibubarkan. 

“Namun, saya jelaskan, Rasulullah mengajarkan kepada umat Islam agar tidak saling menjelekkan. Orang paman Rasulullah juga bukan Muslim, tapi Rasul sayang,” kata Wawang.

Wawang memastikan penolakan terhadap keberagaman yang ada bukan datang dari warga sekitar desa, melainkan dari orang luar. Sebab, warga di Desa Cintakarya disebut menerima keberadaan para siswa SMK Bakti Karya yang memiliki berbagai latar belakang kebudaayan itu. Bahkan, ada sejumlah warga yang menjadi orang tua wali para siswa itu. “Jadi, hubungan keluarganya luar biasa erat,” kata dia.

Wawang menilai, keberadaan siswa yang beragam di SMK Bakti Karya juga banyak membantu aktivitas warga sekitar. Pasalnya, para siswa itu juga berinteraksi langsung dengan masyarakat. Bahkan, ketika ada warga yang panen atau hendak menanam, tak jarang para siswa yang berasal dari berbagai daerah itu ikut membantu ke sawah.

Di sisi lain, warga juga belajar kebudayaan dari para siswa itu. “Yang saya terapkan, majunya suatu daerah itu adalah gumantung (bergantung) budaya. Budaya di sini kan kita harus saling menghargai, menghormati. Selagi tidak merusak tatanan yang ada di Desa Cintakarya, mangga,” ujar Wawang.

Resonansi keberagaman lewat festival

Untuk memperlihatkan keberagaman di Indonesia, SMK Bakti Karya rutin menyelenggarakan Festival 28 Bahasa sejak 2017. Tahun ini, keberagaman ditampilkan melalui kegiatan orasi bahasa daerah, lagu daerah, tarian daerah, dongeng daerah, teater, puisi, atraksi, workshop, hingga berbagai sajian kuliner dari berbagai daerah. Sejumlah rumah adat juga ditampilkan.

Salah seorang guru SMK Bakti Karya, Jujun Junaedi, mengatakan, Festival 28 Bahasa itu dibuat terbuka untuk umum. Menurut dia, tak jarang pengunjung dari luar Pangandaran, bahkan luar Provinsi Jawa Barat. 

“Yang ingin disampaikan dari Festival 28 Bahasa adalah memperkenalkan keberagaman ke orang-orang. Jadi, bukan hanya kita yang menikmati di sini, tapi teman-teman yang lain di luar sekolah juga bisa kenal perbedaan di Indonesia,” kata Jujun. 

Senada dengan gurunya, Edo menilai, pelaksanaan Festival 28 Bahasa penting untuk dilakukan. Pasalnya, saat ini masih banyak orang yang belum tahu makna dari keberagaman yang dimiliki Indonesia. Keberagaman, kata dia, merupakan keindahan.

Edo mengaku bersyukur bisa merasakan keberagaman itu secara langsung di SMK Bakti Karya. Sebab, tak semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk merasakan keberagaman Indonesia secara langsung.

“Kami ingin memberitahukan kepada orang-orang kalau bersatu itu indah. Ketika semua suku bersatu, indah. Kita ingin menunjukkan ke orang-orang kalau kita bisa bersatu. Tidak perlu membanding-bandingkan budaya satu dengan lainnya. Namun, ketika semua ditampilkan bersama, itu akan jadi lebih bagus,” ujar Edo.

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement