Ai mengisahkan, ide awal membuat program kelas multikultural adalah fakta bahwa hingga hari ini keberagaman budaya di Indonesia belum sepenuhnya dapat diterima. Itu dibuktikan dengan selalu munculnya isu perbedaan pada beberapa momen tertentu.
Saat tahun politik, misalnya, masyarakat mudah sekali terpolarisasi karena urusan agama, persinggungan daerah, suku, dan primordialisme. Kondisi itu dinilai dapat tercipta karena masih suburnya prasangka terhadap kelompok yang berbeda.
“Semangat kebangsaan yang dibangun sejak dahulu itu belum tuntas. Untuk mempersatukan itu, harus sadar dulu bahwa kita ini beragam. Kelas multikultural ingin menjawab itu, supaya rasa kebangsaan tumbuh, persatuan dalam keragaman ini tumbuh,” kata Ai.
Ai menjelaskan, program kelas multikultural bertujuan mendekatkan orang dengan berbagai latar belakang untuk saling mengenal dan memahami, sehingga tidak muncul kesalahpahaman di antara anak bangsa. Karenanya, SMK Bakti Karya memberikan kesempatan kepada para siswa untuk tinggal dan hidup bersama dengan siswa lain yang berbeda latar belakang budaya dan pengalamannya.
“Jadi, mereka bisa saling kenal secara holistik, mulai dari cara hidup, cara pandang, dan lainnya. Ujungnya akan timbul rasa saling memahami dan saling support, saling berempati. Dari sana bisa lahir semangat kebangsaan, semangat persaudaraan sesama anak bangsa,” ujar Ai.
Ai mengatakan, hingga saat ini sudah program kelas multikultural di SMK Bakti Karya sudah memiliki delapan angkatan. Dari delapan angkatan itu, terdapat sekitar 260 siswa dari 25 provinsi dan 45 suku yang pernah dan sedang belajar di SMK Bakti Karya.
Melalui kelas multikultural, para siswa dapat merasakan secara nyata bentuk keberagaman yang sebenarnya. Bukan hanya mendengar dan membaca, melainkan para siswa juga mengalami dalam kehidupan sehari-hari.
Sementara bagi lingkungan masyarakat sekitar sekolah, yang mayoritas Muslim, dapat hidup berdampingan dengan orang yang berbeda agama dan budaya. “Itu menjadi pengalaman baru bagi warga lokal. Mereka pun berinteraksi dan tidak saling curiga,” kata Ai, yang lahir dan besar di Dusun Cikubang, Desa Cintakarya, itu.
Upaya menggerakkan program kelas multikultural di SMK Bakti Karya itu mengantarkan Ai Nurhidayat menerima apresiasi Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards bidang pendidikan pada 2019. SATU Indonesia merupakan apresiasi Astra yang diberikan kepada anak bangsa yang senantiasa memberi manfaat bagi masyarakat.
Menurut Ai, tak mudah untuk terus konsisten menyelenggarakan program multikultural. Salah satu masalah yang dihadapinya adalah stigma masyarakat saat awal dibukanya kelas multikultural di SMK Bakti Karya. “Kalau penolakan dari desa tidak pernah ada. Namun, pernah ada ketika momentum Pilkada DKI Jakarta, terdapat kelompok tertentu melakukan mobilisasi massa untuk menolak sekolah kami. Kami dianggap bermasalah,” ujar Ai.
Urusan penolakan itu bahkan sampai harus diselesaikan di tingkat Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pangandaran. Dalam pertemuan itu, dapat dipastikan bahwa kelompok masyarakat yang menolak bukanlah warga sekitar SMK Bakti Karya. Bahkan, kepala desa setempat menilai warga sekitar baik-baik saja dengan keberadaan siswa di kelas multikultural.
Ai mencontohkan, tak jarang warga di sekitar sekolah meminta bantuan siswa untuk bertani saat akhir pekan. Bahkan, pernah ada kegiatan pembangunan masjid di dekat sekolah juga melibatkan siswa dari timur yang mayoritas non-Muslim. Para siswa pun dengan antusias ikut membantu warga yang ada di sekitar sekolah. “Masyarakat justru support, bahkan masyarakat dan siswa dapat berbaur dengan normal,” ujar Ai.
Selain pernah mendapatkan penolakan, Ai mengungkapkan, tantangan lain dalam menjalankan program kelas multikultural adalah urusan pembiayaan. Setiap bulan, dibutuhkan sekitar Rp 30 juta untuk operasional sekolah dan Rp 20 juta kebutuhan asrama.
“Untuk membiayai itu tentu butuh strategi. Karena, mulai dari tiket pesawat, biaya sekolah sampai lulus, (siswa) tidak bayar apa pun. Termasuk asrama dan kebutuhan makan itu digratiskan,” kata Ai, yang kini merupakan ketua Yayasan Darma Bakti Karya.
Selama ini, SMK Bakti Karya mendapat alokasi anggaran dari pemerintah melalui Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bantuan Pendidikan Menengah Universal (BPMU), maupun program Pangandaran Hebat. Untuk mendukung kegiatan sekolah, Yayasan Darma Bakti Karya berupaya melibatkan publik, melalui program Bakti Karya Fellow (BKF).
“Kalau didiamkan secara alami, tidak mungkin anak dari daerah untuk datang karena aksesnya tertutup berbagai hal, termasuk secara finansial. Tentu kami juga butuh dukungan publik,” kata Ai.
Kendati banyak persoalan yang dihadapi, Ai meyakini dukungan publik terhadap program kelas multikultural di SMK Bakti Karya akan terus ada. Pasalnya, kelas multikultural merupakan sarana efektif agar para siswa dapat berinteraksi dengan perbedaan budaya, yang ujungnya akan berperan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa Indonesia adalah negeri yang memiliki keberagaman.
Ai pun meyakini program kelas multikultural akan menjadi gerakan yang berkelanjutan. Bahkan, ia menyebut sudah ada cetak biru program SMK Bakti Karya untuk 15 tahun sejak didirikan.
“Dalam 15 tahun pertama ini kami ingin ada banyak sekolah seperti ini di banyak daerah. Jadi, bukan hanya di Pangandaran, tapi orang Pangandaran bisa keluar, misal ke Halmahera atau daerah lain. Apalagi, kita bisa membuktikan itu bisa berjalan,” kata Ai.
Salah seorang guru SMK Bakti Karya, Anjar Prasetio, mengaku mengajar siswa yang memiliki beragam latar belakang bukanlah hal yang mudah. Namun, ia meyakini program kelas mulitkultural di sekolahnya ini dapat menjadi jalan untuk menebarkan semangat toleransi. Sebelum kelulusan, para siswa SMK Bakti Karya nantinya diikrarkan sebagai pekerja perdamaian atau peaceworker.
“Ini harapannya, ketika ada apa-apa, khususnya isu intoleransi, mereka harus jadi yang paling depan untuk mendamaikan,” kata Anjar, yang merupakan lulusan SMK Bakti Karya pada 2018 itu.
Diapresiasi