REJABAR.CO.ID, Oleh:
Nina Sintarijana, Founder Mutti Institute
Pada tanggal 8 Juni 2006, Indonesia digegerkan oleh sebuah berita. Seorang Ibu berusia 31 tahun, lulusan Perguruan Tinggi Ternama di Bandung, dikabarkan membunuh tiga putranya yang berusia 6 tahun, 3 tahun dan 9 bulan, akibat depresi. Hampir setiap hari berita di koran membahas peristiwa tersebut. Sang ibu diduga depresi dan sempat tersebar berita bahwa Ibu tersebut terancam hukuman mati.
Pada sidang tanggal 15 Januari 2007, majelis hakim memutuskan untuk membebaskan ibu tersebut karena terbukti menderita gangguan jiwa yang menyebabkan dirinya “merasa kosong”, “tidak berguna”, dan “membenci diri sendiri”. Kebencian itu kemudian ditumpahkan pada tiga anaknya, karena merasa takut gagal mendidik anak, dan akan menjadi sosok yang tidak berguna seperti dirinya.
Peristiwa tersebut menyisakan pertanyaan begitu besar yakni mengapa perempuan cerdas dan berpendidikan tinggi sedemikian tak berdaya dan rentan mengalami depresi? Pertanyaan tersebut lebih tepat direfleksikan menjadi kerja-kerja nyata untuk memberdayakan dan memberikan pencerahan terhadap perempuan sebagai agen sosial.
Perempuan dan Potensi Diri
Banyak dari perempuan tidak tahu apa sesungguhnya potensi diri yang dititipkan Tuhan padanya. Jika seseorang tidak paham potensi dirinya, maka dia akan jatuh pada kondisi yang merasa tidak berguna. Dan memang demikianlah seharusnya.
Seseorang harus mampu mengenali dirinya, tahu cara melejitkannya agar Bahagia. Bahagia akan hadir jika mampu mencintai dan menghargai diri sendiri (self esteem). Menurut David Liebermen, dalam bukunya “The Psychology of Emotion”, menyatakan bahwa kemampuan menghargai diri sendiri adalah sebuah kondisi dimana kita mampu memutuskan pilihan-pilihan yang bertanggung jawab dan melakukan sesuatu yang benar – yang berorientasi pada moral atau Nurani.
Banyak orang salah kaprah memaknai harga diri. Untuk mengenali diri sendiri memang diperlukan sebuah perenungan, terus belajar dan bahkan kehadiran seorang mentor kehidupan.
Mengapa mendidik perempuan mesti memahami poisi dirinya dan kebermaknaan dirinya dalam soal pengelolaan keluarga? Ada sebuah kisah yang terjadi di salah satu daerah di Kabupaten Bandung, ada seorang Ibu yang menderita stress berat, kemudian di vonis kanker Rahim stadium 4.
Salah satu penyebab stress adalah karena himpitan ekonomi, dimana sang ibu ini harus mengelola pendapatan suami sekitar tiga juta rupiah, tetapi setiap bulan harus mengeluarkan kewajiban sekitar lima juta rupiah untuk kebutuhan sehari-hari dan membayar hutang.
Mengapa bisa terjadi, ternyata ibu muda ini tidak paham ilmu mengelola keuangan keluaga. Pada saat kami berdiskusi dengannya, dua kali putri balitanya keluar masuk ruang tamu yang sempit untuk meminta uang jajan, dan dengan ringan sang ibu memberikan uang lima ribu rupiah sebanyak dua kali.
Ketika ditanya, memang uang jajan anak balita ini 10 ribu rupiah setiap harinya? Belum lagi kakaknya yang sekolah SD pasti butuh uang saku juga. Akhirnya, karena suami tidak bisa menambah penghasilan, maka ibu tersebut meminjam dana dari Lembaga keuangan yang cara membayarnya mingguan.
Jika tidak memiliki dana, maka akan ditagih dengan tekanan yang tinggi. Stress semakin bertambah Ketika pertengkaran demi pertengkaran terjadi dengan pasangan dan mengerucut pada perceraian, karena mereka terjebak pada kondisi saling menyalahkan. Realitas ini senyatanya terjadi sangat dekat dengan perempuan di Indonesia hari ini.
Uregensi Kehadiran Mentor & Konselor
Sederet peristiwa yang menjadi pengalaman perempuan di Indonesia akhir-akhir ini menjadi penanda bahwa peran negara dan level komunitas sangat diperlukan.
Bukankah peran perempuan sangat strategis di ranah keluarga dan bagi pendidikan karakter anak? Bukankah keluarga adalah sumber kasih sayang agar anak tumbuh dengan jiwa penuh kasih? Apakah ada kaitan kasus kenakalan remaja, addicted gadget, KDRT, korupsi, radikalisme, tingginya angka criminal dengan Pendidikan keluarga?
Lebih jauh lagi, apakah ada kaitan pendidikan keluarga dengan minimnya pemimpin berkualitas di negeri ini? Bagaimana cara mendeteksi bahwa sebuah keluarga sedang menghadapi persoalan serius yang berpotensi salah satu anggota keluarga sedang tertimpa Depresi berat?
Berbicara perempuan dan perannya memang tidak akan pernah ada habisnya. Tetapi perlu kesadaran yang tinggi bagi perempuan-perempuan yang beruntung, yang berkesempatan mengenyam Pendidikan yang tinggi, ekonomi yang cukup, telah lulus dalam menaklukkan badai kehidupan, untuk saling bergandengan tangan, menguatkan dan membangun kepedulian, dalam proses pemberdayaan perempuan, dimulai dari hal yang kecil dan sederhana.
Bagi yang tidak memiliki waktu, bisa menyumbangkan materi sesuai kemampuan di kegiatan apapun yang mendukung pada pencerdasan perempuan. Bagi yang tidak memiliki materi, semestinya menyumbangkan tenaga dan pemikiran. Perlu Kerjasama yang saling menguatkan dalam hal apapun.
Perempuan Pengubah Peradaban
Mungkin spirit membangun “jiwa” perempuan bisa kita dengar dari bait-bait syair lagu Indonesia Raya. Ketika dikumandangkan dimanapun, saya akan berdiri tegak,eolah-olah dihadapan saya berdiri Tuhan Sang Pencipta --lalu pada saat sampai lirik “Bangunlah Jiwanya … Bangunlah badannya… untuk Indonesia Raya”. Hati trenyuh, tersentuh dan mata berkaca-kaca. Kecintaan pada negeri Indonesia begitu kuat—begitu teduh. Begaimanapun realitasnya inilah tanah tumpah darah.
Maka sebait doa selalu muncul. Tuhan, bagaimana cara agar mengambil peran dalam membangkitkan jiwa sesama khususnya jiwa perempuan? Perempuan harus bangkit, bahu membahu saling menguatkan dengan berkontribusi dalam bentuk apapun.
Negara ini hanya bisa lebih baik jika perempuan bangkit. Mengapa? Karena perempuanlah sosok pengubah peradaban. dari rahim perempuan yang cerdas, visioner, dan berdaya serta berakhlaq mulia, akan lahir generasi penerus yang unggul. Bangkitah perempuanku …menjadi berdaya, melejitkan potensimu, menyongsong masa depan gemilang bersama komunitas yang sehat.