REJABAR.CO.ID, DEPOK -- Kota Depok menjadi sorotan dunia internasional setelah Miliano Jonathans, bintang muda asal klub Belanda Vitesse Arnhem mengaku sebagai "anak Depok". Pengakuan Miliano sebagai anak Depok bahkan secara verbal menggunakan bahasa Betawi, "Gue asli jalan pemuda bang!"
Pengakuan Miliano tersebut tak hanya membuatnya menjadi sorotan. Kota Depok, "kampung halaman" Miliano pun menjadi semakin dikenal.
Miliano memang memiliki darah Depok dari sang Nenek garis ayahnya. Dalam satu kesempatan, Miliano menjelaskan ayahnya sangat mencintai Indonesia. "Ayahku juga bilang kangen banget sama makanan Indonesia, setelah liburan dia cuma ngobrol tentang makanan saja,” terang Miliano Jonathans.
Jika ditelusuri, nama belakang Jonathans merupakan satu dari 12 marga keturunan Belanda Depok yang kini menghuni kawasan Depok Lama, di Kelurahan Depok, Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok. Dua belas marga tersebut, yakni Bacas, Isakh, Jonathans, Jacob, Joseph, Loen, Laurens, Leander, Tholense, Soedira, Samuel, dan Zadokh.
Namun, apakah 12 marga tersebut adalah orang Belanda?
Dua belas marga Kaoem Depok atau yang dikenal sebagai Belanda Depok tersebut adalah pewaris dari tuan tanah Cornelis Chastelein. Mereka mewarisi 1.244 hektar tanah wasiat Cornelis sekaligus mewarisi tata hidup yang lebih baik bagi Kaoem Depok dibandingkan warga yang bukan Kaoem Depok.
Aturan pertanahan Reglement pemerintah Hindia-Belanda pada 1836, memberi status kepemilikan Depok menjadi tanah partikelir yang dimiliki oleh Kaoem Depok. Status kepemilikan tanah partikelir Kaoem Depok ini merujuk surat wasiat Cornelis Chastelein, dengan status Christen-Inlander (Kristen Pribumi), (Ronald M. Jonathans, ‘Depok’, 2012: 12).
Generasi kedelapan Kaoem Depok dari marga Jonathans, Ferdy Jonathans mengatakan semasa hidup Cornelis mengajarkan tata kehidupan yang baik kepada 12 marga Kaoem Depok. Ia memperlakukan para budaknya tidak seperti budak pada umumnya.
Chastelein mengajarkan agama Kristen kepada mereka, memberikan pendidikan, memberi tahu pengelolaan ekonomi. “Jadi dia memperlakukan budak seperti anak angkatnya,” kata Ferdy saat berbincang dengan Republika beberapa tahun lalu.
Setelah Cornelis Chalestein meninggal dunia, Kaoem Depok mengelola tanah secara bersama-sama, dengan falsafah hasil pengelolaan tanah dibagi bersama. Seiring berjalannya waktu masing-masing warga dari Kaoem Depok berkeinginan mengelola tanah mereka secara sendiri-sendiri.
Pada 1871 setelah mulai munculnya konflik antar pewaris Kaoem Depok, diinisiasilah sebuah tatanan pemerintahan otonom lokal Gemeentebestuur Depok atas ide dari seorang advokat Belanda bernama Mr. R.H. Kleijn. Struktur pemerintahan ini disempurnakan berkali-kali dengan Reglement van het land Depok, hingga pada 14 Januari 1913 ditunjuklah seorang Presiden pertama dari Kaoem Depok, M.F Gerit Jonathans, (Ronald M. Jonathans, ‘Depok’, 2012: 13).
Sejak saat itu sampai kemerdekaan RI, Depok telah dipimpin oleh lima orang presiden. Selama adanya pemerintahan sendiri itu kehidupan Kaoem Depok pun berangsur berubah menjadi lebih baik.
Kaoem Depok telah mengelola tanah pertanian yang mereka miliki sendiri, di saat masyarakat pribumi saat itu sulit memiliki tanah sendiri, karena diambil paksa oleh pemerintah Hindia-Belanda atau tuan tanah Belanda. Saat itu berbagai komoditas pertanian unggulan dihasilkan di tanah partikelir ini, mulai dari padi, tebu, lada, pala, kopi dan randu. Bahkan buah-buahan mulai dari mangga, pisang jambu dan belimbing, bahkan produk industri yakni genteng.
“Dulu ada aturan di Kaoem Depok, tanah yang diwariskan Cornelis Chalaestein tidak boleh diperjualbelikan, harus diwariskan dikelola secara turun-temurun. Namun itu hanya berjalan hingga 200 tahun hingga kemerdekaan,” ujar Ferdy.