Kamis 31 Oct 2024 18:57 WIB

Menjaga Benteng Terakhir Tenun Gedogan Indramayu

Tenun gedogan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wastra nusantara.

Rep: lilis Sri Handayani/ Red: Muhammad Hafil
Sunarih (70 tahun) sedang membuat tenun gedogan Indramayu.
Foto:

Benang yang akan ditenun itu pada bagian ujungnya digulung pada komponen alat tenun yang disebut dayan. Posisinya ada di ujung kaki Sunarih yang sedang berselonjor. Sedangkan benang yang telat dipadatkan menjadi kain, digulung pada ujung lainnya dengan menggunakan komponen alat tenun yang disebut apit. Panjang apit sekitar 1,2 meter.

Apit itu diletakkan di bagian perut Sunarih. Selanjutnya, apit ditarik ke belakang menggunakan tali tambang pada ujung kanan dan kirinya. Tali tersebut kemudian dikaitkan pada komponen yang disebut por.

 Por dipasang di belakang pinggang Sunarih. Karena itu, perut dan pinggangnya terhimpit di antara apit dan por. Tujuannya, agar benang yang dipadatkan menegang dengan kuat dan tidak kendor. Hal itu penting untuk memastikan hasil tenunan berkualitas bagus.

 Kain yang terbentuk dari tenunan benang berwarna merah yang sedang dikerjakan oleh Sunarih itu akan dibuat sepanjang 2,5 meter, dengan lebar 60 centimeter. Setelah dikerjakan sejak sehari sebelumnya, sudah terbentuk kain hampir sepanjang satu meter.

 Pada ujung kain yang sudah jadi itu, terlihat motif songket ‘babaran’ berwarna kuning keemasan. Motif tersebut memiliki bentuk segitiga, yang serupa dengan makanan tradisional setempat yang disebut koci.

 Sunarih bercerita, pertama kali belajar menenun saat usianya sekitar tujuh tahun. Dia belajar menenun langsung dari ibunya, almarhumah Saryi.

 Di masa itu, kaum perempuan di Desa Juntikebon memang didorong untuk bisa menenun sebagai salah satu bentuk kedewasaan, disamping pekerjaan rumah tangga lainnya.

 ‘’Kalau jaman dulu sih, setiap hari kalau gak nenun, ya disuruh masak. Kalau misalnya saya yang nenun, ibu yang masak. Kalau ibu yang nenun, saya yang masak,’’ ucap Sunarih.

 Sunarih mengaku tak tahu sejak kapan tradisi menenun dilakukan di keluarganya. Yang pasti, ibu, nenek dan nenek buyutnya pun dulu biasa menenun. Selain digunakan untuk kebutuhan sandang keluarga, kain tenun yang mereka hasilkan juga dijual. Ada orang yang akan menjualkan kain tenun tersebut. Namun, sering pula pembeli datang sendiri.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement