Kamis 31 Oct 2024 18:57 WIB

Menjaga Benteng Terakhir Tenun Gedogan Indramayu

Tenun gedogan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari wastra nusantara.

Rep: lilis Sri Handayani/ Red: Muhammad Hafil
Sunarih (70 tahun) sedang membuat tenun gedogan Indramayu.
Foto:

Keahlian menenun yang dimiliki Sunarih kini diturunkan kepada cucu perempuannya. Di sela persiapannya untuk kuliah, cucunya itu hampir setiap hari belajar menenun.

Apalagi, di rumah Sunarih kini tersedia alat tenun bukan mesin (ATBM) baru yang dianggap lebih mudah digunakan untuk menenun. Alat tenun dari kayu itu didatangkan oleh PT Kilang Pertamina Internasional (KPI) Refinery Unit (RU) VI Balongan. Perusahaan pelat merah tersebut tergerak untuk melestarikan tenun gedogan Indramayu yang hampir punah.

photo
ATBM bantuan CSR PT KPI RU VI Balongan. - (Lilis Sri Handayani / Republika.co.id)

 

Tak hanya sang cucu, sejumlah warga pun berdatangan ke rumah Sunarih untuk belajar menenun sejak ATBM baru itu tiba pada 26 Agustus 2024. Mereka tertarik karena penggunaan alat tenun baru itu lebih ergonomis sehingga tidak membuat capek seperti alat tenun lama milik Sunarih.

ATBM baru itu terangkai lebih tinggi dan dilengkapi tempat duduk untuk penenunnya. Berbeda dengan alat tenuh milik Sunarih, dimana penenun harus duduk selonjoran di atas lantai sambil memangku alat tersebut.

 ‘’Yang sekarang serius belajar ada sekitar sepuluh orang. Mereka pada senang pakai alat baru itu,’’ tutur Sunarih.

Sunarih mengatakan, hingga kini ia yang masih mempersiapkan segala sesuatu untuk menenun. Sedangkan mereka yang masih belajar, tinggal melakukan tahap pemadatan benang menjadi kain. Ia juga akan turun tangan jika di tengah jalan ternyata ada benang yang putus atau ada kendala lainnya.

Sunarih mengaku senang saat ini banyak yang tertarik untuk belajar menenun. Suara gedog-gedog-gedog yang semula hanya dihasilkan dari alat tenunnya pun kini bertambah dengan hadirnya alat tenun baru.

 ‘’Seneng akeh bature (senang banyak temannya),’’ ucap Sunarih.

 Salah satu warga yang tertarik belajar menenun adalah Casyati (50). Dia mengatakan, ibunya juga dulu kerap menenun namun berhenti beberapa tahun yang lalu karena merasa capek.

 ‘’Saya dulu cuma ngeliatin ibu saya menenun, tidak tertarik untuk belajar karena kayaknya susah,’’ tutur perempuan yang menjabat sebagai Ketua RW di Blok Kesambi, Desa Juntikebon itu.

Namun setelah pihak Pertamina mendatangkan alat tenun baru dan memberikan pelatihan penggunaannya, Casyati mengaku tertarik untuk belajar menenun. Kini, setiap hari ia datang ke rumah Sunarih untuk menenun.

 ‘’Kalau lagi gak ada kerjaan, ya ke sini, nenun. Kalau gak pagi, ya sore,’’ kata Casyati.

 Hal senada diungkapkan warga lainnya, Daskinah (56). Di masa lalu, seperti umumnya perempuan di Desa Juntikebon lainnya, ibunya juga suka menenun. Namun, ibunya kemudian berhenti karena penghasilan dari menenun dirasa kurang hingga beralih usaha menjadi bos rajungan.

 ‘’Saya dulu gak mau menenun karena kayaknya sulit, harus duduk lesehan, pinggang jadi capek banget,’’ ucap Daskinah.

 Daskinah mengaku tertarik belajar menenun saat melihat ada alat tenun baru di rumah Sunarih. Dia menilai alat tersebut lebih mudah dan tidak terlalu membuat badannya kecapekan.

Daskinah pun menjalani pelatihan penggunaan alat tenun baru oleh pelatih asal Yogyakarta, yang sengaja didatangkan pihak KPI RU VI Balongan ke rumah Sunarih. Pelatihan berlangsung selama empat hari.

 Daskinah mengaku senang karena sekarang sudah mulai bisa menenun, meski untuk prosesnya masih tetap dibimbing oleh Sunarih hingga sekarang. Dia pun cukup puas karena sudah bisa menghasilkan sejengkal kain dalam waktu satu jam.

 ‘’Saya biasanya datang ke sini mulai pukul 09.00 WIB, kemudian saat Dzuhur pulang. Setiap hari,’’ tutur Daskinah.

 Daskinah berharap, pihak Pertamina tak hanya memberi pelatihan dan alat tenun baru. Namun, kedepannya juga bisa membantu membentuk kelompok atau koperasi penenun untuk penjualan kain-kain tenun dan mengupayakan bantuan permodalannya.

 Sejarah Tenun Gedogan di Masa Lalu

 Sementara itu, upaya pelestarian tenun gedogan Indramayu diapresiasi oleh sejarawan dan pemerhati budaya Indramayu, Supali Kasim. Dia mengatakan, tenun gedogan Indramayu selama ini memang telah ditinggalkan para pelakunya hingga hanya menyisakan Sunarih yang masih terus aktif menenun.

 Supali menjelaskan, sebelum kemerdekaan Indonesia, kaum perempuan di desa-desa di Kabupaten Indramayu, terutama di Kecamatan Juntinyuat, memang hampir semuanya menenun di rumah masing-masing. Hal itu untuk memenuhi kebutuhan sandang anggota keluarga mereka.

 ‘’Semua rumah warga pasti punya alat tenun. Kaum perempuannya selain mengerjakan pekerjaan rumah dan bekerja di sawah, ya menenun,’’ kata Supali kepada Republika, Kamis (31/10/2024).

 Bahkan, di masa penjajahan Belanda, pemerintahan setempat mewajibkan masyarakat menanam kapas dengan memberikan bibit kapas. Dengan demikian, masyarakat akan memiliki bahan baku pembuatan benang untuk dijadikan kain tenun.

Namun setelah kemerdekaan Indonesia, lanjut Supali, banyak beredar benang yang dijual di pasaran. Karenanya, para penenun lebih memilih membeli benang dibandingkan memintalnya sendiri dari kapas. Apalagi, benang pabrikan memiliki warna yang beragam sehingga membuat motif kain tenun gedogan juga lebih bervariasi.

Hingga 1980-an, lanjut Supali, aktivitas menenun masih mudah ditemukan di empat desa di Kecamatan Juntinyuat. Yakni, Desa Juntikebon, Juntinyuat, Juntikedokan dan Juntiweden.

 ‘’Dari pagi sampai sore masih ramai terdengar suara alat tenun dari rumah-rumah warga di Kecamatan Juntinyuat. Nah mulai masuk 1990-an, aktivitas menenun mulai berkurang,’’ jelas pria kelahiran Juntinyuat tersebut.

 Supali menjelaskan, tenun gedogan mulai ditinggalkan warga seiring maraknya tekstil buatan pabrik. Pasalnya, kain tekstil lebih murah dibandingkan tenun gedogan. Dengan sepinya peminat, maka para penenun pun meninggalkan aktivitas mereka dan tidak menurunkan kepada generasi berikutnya.

 ‘’Jadi memang sudah seharusnya ada program pelatihan dan pemberian ATBM untuk terus melestarikan tenun gedogan. (Langkah pelestarian oleh Pertamina) itu bagus. Nanti dari warga yang sudah dilatih itu bisa menularkannya kepada anak-anak muda,’’ ucap Supali.

 Upaya Pelestarian Tenun Gedogan

 Officer 1 CSR dan SMEPP PT KPI RU VI Balongan, Andromedo Cahyo Purnomo, mengatakan, awalnya merasa terkejut saat mengetahui Kabupaten Indramayu ternyata memiliki kain tenun gedogan khas, yang bahkan telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda oleh Kemendikbud pada 2022.

‘’Mungkin masyarakat Indramayu juga banyak yang tidak tahu kalau daerahnya memiliki warisan budaya yang sangat berharga berupa tenun gedogan. Dan yang kami ketahui, satu-satunya penenun yang masih aktif sekarang adalah Bu Sunerih, dengan usianya yang sudah senja,’’ jelas pria yang biasa disapa Edo tersebut.

 Selain persaingan dengan tekstil pabrikan, tidak adanya warga yang berminat menenun juga disebabkan alat tenunnya yang masih sangat tradisional. Alat tenun itu membuat penenun merasa sangat kecapekan dan punggung sakit karena tidak ergonomis.

 Menyadari hal tersebut, melalui program corporate social responsibility (CSR)-nya, PT KPI RU VI Balongan pun memberikan ATBM yang ergonomis dan lebih mudah digunakan.

 ‘’Kami berikan ATBM, tanpa menghilangkan warisan budaya aslinya. Karena kekhasannya kan ada di motif tenunnya,’’ terang Edo.

 Tak hanya ATBM, lanjut Edo, pihaknya juga mendatangkan langsung ahli tenun dari Kandang Tenun Yogyakarta. Selama beberapa hari, ahli tersebut memberikan pelatihan kepada warga di rumah Sunarih mengenai penggunaan ATBM untuk membuat tenun gedogan, termasuk memberikan gambaran pemasarannya.

Dari 40 peserta pelatihan yang berasal dari warga setempat, Edo mengakui, saat ini hanya tersisa sekitar sepuluh orang yang sungguh-sungguh ingin melanjutkan menenun. Rencananya, bulan depan atau akhir tahun, pihaknya akan kembali mengadakan pelatihan serupa dengan menyasar warga lainnya termasuk generasi muda.

‘’Kita memang awali ini, minimal ada lebih dari satu orang dulu penenun, supaya tenun gedogan Indramayu ini tidak putus,’’ tukas Edo.

 Tak hanya itu, lanjut Edo, kedepan pihaknya juga akan melakukan diversifikasi produk tenuh gedogan Indramayu. Tak hanya sebatas selembar kain, tenun gedogan Indramayu akan diperluas pada produk fesyen yang lebih kekinian, seperti tas dan dompet.

‘’Dengan diversifikasi produk yang lebih kekinian, kami berharap anak-anak muda akan menyukainya karena lebih modis dan bisa dipakai sehari-hari,’’ tutur Edo.

 Hal senada diungkapkan Area Manager Communication, Relation and CSR PT KPI RU VI Balongan, Mohamad Zulkifli. Dia mengungkapkan, pihaknya merasa tergerak melihat keberadaan tenun gedogan Indramayu yang semakin teriris.

Hal itupun menjadi keprihatinan serius apabila tenun gedogan Indramayu di ambang kepunahan bahkan sampai menghilangkan identitas yang telah melekat turun temurun di desa tersebut.

‘’Kami berkomitmen mendukung pelestarian budaya, berusaha menjaga agar tenun gedogan Indramayu tetap eksis menjadi warisan wastra nusantara yang tetap lestari dan dinikmati oleh generasi mendatang,’’ tukas Zulkifli. 

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement