Sunarih dulu dengan cepat bisa menguasai kemampuan menenun karena setiap hari terbiasa melihat ibunya melakukan pekerjaan tersebut. Dia mengaku tak memiliki kesulitan apapun dalam mengerjakannya.
Untuk menenun, Sunarih mengawalinya dengan mempersiapkan benang yang akan ditenun. Benang yang digunakannya adalah benang sintetis dan berkualitas baik. Jika benang yang dibelinya dari toko dirasa kurang bagus atau istilahnya masih mentah, dia akan mematangkannya. Caranya, benang diuleni dengan nasi setengah matang dan disikat sampai halus.
Setelah benang siap, Sunarih kemudian melakukan tahapan ngelerek lawe atau memasang benang pada alat undar yang terbuat dari bambu yang menyerupai baling-baling.
Selanjutnya, dilakukan pemanenan. Yakni, membentangkan benang pada alat pemanen sepanjang dua meter. Benang lantas digulung di antara dua sisi tiang pemanen sehingga susunan benang jadi beraturan.
‘’Pemanenan dilakukan agar benang yang digunakan tidak mudah kusut,’’ jelasnya.
Tahap berikutnya adalah ngelab, yakni melepaskan benang dari alat pemanen dan memasangnya pada dayan, yang merupakan salah satu komponen alat tenun. Jika sudah, benang selanjutnya dimasukkan ke dalam lubang-lubang suri (sisir) yang berjumlah 450 lubang. Proses itu disebut nyoroki suri.
Setelah itu, ujung benang yang terpasang pada suri disimpulkan pada sebilah bambu dan dilakukan pemasangan pada alat tenun. Langkah berikutnya adalah membuat jinjingan songket (miwil), yang berfungsi sebagai pemisah benang atas dan benang bawah saat proses menenun.
Usai semua tahapan persiapan itu, barulah Sunarih memulai proses menenun atau memadatkan benang menjadi kain. Dia akan duduk selonjor dengan alat tenun di atas pangkuannya. Proses itu dilakukannya selama berjam-jam hingga tubuhnya merasa lelah dan membutuhkan istirahat.
‘’Kalau suasana hati lagi senang, sehelai kain tenun bisa selesai empat hari. Tapi kalau sebaliknya, ya lebih lama, bisa setengah bulan hanya untuk sehelai kain,’’ tutur Sunarih.
Tak hanya dikenal berkualitas bagus, tenun gedogan Junti Indramayu juga dikenal memiliki hiasan/motif songket yang menambah nilai estetikanya. Motif itu berada di setiap ujung kain tenun. Motif yang paling banyak dibuat adalah babaran.
Selain itu, adapula motif kembang pacar, kembang sabrang, kembang blinding, kembang bonteng, mata baru, kembang bayem, raden palih, kucing gering dan kacang ijoan.
Sejumlah motif tenun gedogan Junti Indramayu bahkan erat dengan mitos dan budaya setempat. Karenanya, pembuatan motif tenun disesuaikan dengan peruntukkannya.
Seperti misalnya, motif kluwungan, yang berkaitan dengan kelahiran anak. Motif tersebut diperuntukkan bagi anak kedua dari tiga bersaudara, dimana kakak dan adiknya meninggal dalam waktu berdekatan.
Selain itu, motif poleng mentisa. Motif itu hanya digunakan saat selesai pemilihan kepala desa. Pasalnya, motif tersebut dipercaya sebagai simbol yang diberikan kepada kepala desa terpilih.
Adapula motif suwuk, yang konon digunakan sebagai simbol tolak bala. Namun, mitos tersebut cenderung memudar seiring lesunya denyut kehidupan tenun gedogan.
‘’Jadi motifnya disesuaikan dengan tujuannya. Sampai sekarang pun kalau ada yang pesan motif-motif itu (yang mengandung mitos tertentu), ya saya bikinkan,’’ ucap Sunarih.
Menurut Sunarih, tenun gedogan dulu hanya dipakai sebagai tapih (kain), sarung, atau sewet (gendongan). Namun sekarang, tenun gedogan juga bisa dipakai untuk membuat baju atau produk fesyen lainnya seperti tas.
Untuk harganya, kata Sunarih, bervariasi. Dia menyebut di kisaran Rp 300 ribu – Rp 350 ribu per helai.
Sunarih menilai, minimnya penghasilan yang diperoleh penenun menjadi alasan utama ditinggalkannya tradisi menenun di desanya. Apalagi anak-anak muda, banyak yang lebih memilih bekerja di luar negeri sebagai pekerja migran Indonesia (PMI) dibandingkan menjadi penenun.
Sunarih mengatakan, pada 1990-an sampai 2015, tercatat masih ada empat orang di Desa Juntikebon yang menenun. Namun pada 2020, tinggal tersisa dua orang penenun karena lainnya sudah berhenti dan meninggal dunia.
Hingga sekarang, dari dua penenun yang tersisa, hanya Sunarih yang masih aktif menenun. Sedangkan satu penenun lainnya, sudah tidak aktif lagi karena sakit.
‘’Saya mah gak pernah di-pedot (diputus/berhenti) menenunnya, terus ya lumayan untuk nambah-nambah (penghasilan). Sebulan bisa buat tiga sampai enam lembar kain,’’ kata perempuan yang mengandalkan kebutuhan hidupnya dari bertani di sawah itu.
Sunarih mengakui, kedua anak perempuannya pun tidak diajarkannya untuk menenun. Dulu ia selalu menyuruh anak-anaknya untuk fokus menuntut ilmu hingga mereka menyandang gelar sarjana dan kini telah menjadi guru.