Kendaraan Sekarang tak Hanya Sebagai Barang Mewah tapi Jadi Alat Kerja
Sementara menurut Pengamat Ekonomi Universitas Padjadjaran (Unpad), Yulistyne Kasumaningrum, secara umum, kondisi daya beli masyarakat saat ini memang lagi tertekan. Karena, harga kebutuhan pokok naik, cicilan rumah tangga makin berat, dan penghasilan banyak orang juga tidak meningkat. Tapi yang menarik, justru di tengah kondisi seperti saat ini, pembiayaan kendaraan seperti yang dilakukan ACC malah tetap tumbuh. Berdasarkan data, pembiayaan ACC mencapai Rp 4,1 triliun di Januari 2025.
Hal tersebut, kata dia, menunjukkan banyak orang sekarang tidak lagi melihat kendaraan sebagai barang mewah, tapi lebih ke kebutuhan bahkan jadi alat kerja. "Kita melihat, semakin banyak orang yang mengandalkan motor atau mobil untuk mencari penghasilan, entah itu jadi driver online, kurir, atau usaha mandiri lainnya. Jadi kendaraan itu bukan sekadar alat transportasi, tapi juga sumber pendapatan," ujar Yulistyne yang akrab disapa Tine.
Tine mengatakan, selama cicilannya masih dianggap masuk akal dan prosesnya tidak rumit, maka masyarakat akan mengambil kredit tersebut. Karena, di sana ada harapan bisa balik modal lewat kerja harian. "Jadi angka Rp 4,1 triliun itu, menurut saya lebih menggambarkan kebutuhan yang sifatnya fungsional," katanya.
Terkait promo yang ditawarkan Astra Financial di Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2025 hingga bunga 2,3 persen dengan tenor 1–3 tahun, Tine menilai, promo bunga rendah memang punya daya tarik tersendiri. Apalagi, buat masyarakat urban yang biasa menghitung pengeluaran bulanan dengan ketat.
Menurutnya, bunga 2,3 persen flat dengan tenor pendek itu terlihat 'ringan', karena komitmennya tidak panjang. Sehingga, banyak orang merasa lebih aman ambil cicilan yang cepat selesai. Apalagi, kalau promosinya ditawarkan di event besar seperti GIIAS, suasananya memang mendukung. "Orang datang niatnya mungkin cuma lihat-lihat, tapi begitu lihat ada promo menarik sering kali langsung merasa, kayaknya ini waktu yang pas buat ambil mobil. Jadi secara strategi pemasaran, memang cukup efektif untuk mendorong pembiayaan jangka pendek," paparnya.
Namun, kata Tine, yang perlu diingat, promo semacam ini harus dibarengi dengan edukasi. Jangan sampai konsumen cuma melihat bunganya yang rendah, tapi tidak benar-benar paham total cicilan dan tanggung jawab ke depannya. "Kalau hal itu diabaikan, risiko keuangan bisa muncul belakangan. Apalagi, di tengah situasi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil," katanya.
Tine menilai, keberadaan lembaga pembiayaan alternatif seperti ACC ini, bisa menjadi semacam jembatan. Terutama, bagi masyarakat yang kesulitan mengakses kredit dari bank. Karena, banyak yang bekerja di sektor informal, tak memiliki slip gaji, histori kredit, atau jaminan yang biasanya diminta oleh perbankan. "Di sini lah lembaga seperti ini masuk, karena prosesnya lebih cepat, syaratnya lebih longgar," katanya.
Dari sisi inklusi keuangan, kata dia, keberadaan leasing ini akan membuat orang bisa mengakses pembiayaan yang legal, terstruktur, dan tak perlu lari ke pinjaman ilegal atau rentenir. Tapi di sisi lain, masyarakat perlu berhati-hati, terkait emudahan akses tanpa pendampingan atau edukasi finansial bisa menjadi bumerang.
Karena, kata dia, banyak kasus di mana orang mengambil kredit bukan karena benar-benar butuh atau siap, tapi karena merasa 'yang penting bisa nyicil'. Padahal secara keuangan, belum tentu mereka cukup stabil. Ini berbahaya, karena kalau penghasilan terganggu sedikit saja, bisa langsung gagal bayar. "Jadi menurut saya, peran lembaga pembiayaan alternatif harus dilihat lebih kritis. Nggak cukup hanya soal 'memberi akses', tapi juga harus dipikirkan bagaimana dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang," paparnya.
Tine mencontohkan, dari permukaan pembiayaan kendaraan untuk driver online terlihat sebagai bentuk investasi pribadi. Karena, mereka bisa bekerja, menghasilkan pendapatan harian, dan memiliki aset. Tapi di lapangan, banyak cerita berbeda. "Tidak sedikit yang akhirnya terjebak dalam tekanan cicilan yang tinggi, sementara pendapatan harian fluktuatif tergantung order, rating, dan insentif platform. Belum lagi, mereka tak punya perlindungan sosial layaknya pekerja formal," paparnya.
Jadi, kata Tine, meskipun niatnya produktif, kalau tidak dibarengi dengan edukasi keuangan, kontrol biaya operasional, dan perlindungan kerja yang layak, ini justru bisa membebani mereka. Seharusnya, ada batas yang jelas antara pembiayaan produktif dan pembiayaan yang hanya tampak produktif di awal, tapi menimbulkan tekanan finansial di kemudian hari. "Maka peran lembaga pembiayaan juga penting bukan cuma memberi kredit, tapi mendampingi, mengedukasi, dan menjaga agar nasabahnya tidak terjerat utang tanpa arah," katanya.
Perlu diketahui berdasarkan data, ACC membukukan pembiayaan kendaraan sebesar Rp4,1 triliun pada Januari 2025. Angka tersebut diklaim menunjukkan pertumbuhan positif dibandingkan dengan pencapaian periode yang sama tahun lalu. ACC sendiri, memiliki banyak produk. Di antaranya, kredit mobil baru, mobil bekas dan dana. Selain itu, ACC pun memiliki produk pembiayaan syariah baik untuk mobil baru maupun bekas hingga haji dan umrah.
Menurut Chief Executive Officer ACC, Hendry Christian dalam keterangan resminya, Astra Financial menawarkan bunga 2,3 persen untuk tenor 1-3 tahun dan 4,5 persen untuk tenor 4-5 tahun di acara GIIAS 2025. “Masyarakat akan lebih mudah memiliki mobil-mobil yang dipamerkan lewat layanan pembiayaan dari ACC dan TAF," katanya.
Menurutnya, ACC dan TAF menghadirkan solusi pembiayaan yang kompetitif di GIIAS 2025. Dengan bunga spesial ini, pihaknya berharap dapat meningkatkan antusiasme masyarakat untuk membeli mobil di GIIAS 2025.