Sadar mengatakan, memang ada kebijakan untuk mengalihkan tenaga honorer ke skema PPPK atau outsourcing. Menurut dia, solusi tersebut mesti benar-benar jelas skema dan sasarannya, jangan sampai justru menghasilkan masalah baru.
“Kalaupun PPPK dan outsourcing ini jadi solusi, mesti diperjelas skemanya, bidang apa saja, rekrutmennya, termasuk penganggarannya. Jangan sampai gaji PPPK yang bersumber dari DAU (Dana Alokasi Umum), tapi nominal DAU-nya ini tidak ditambah, tentu ini akan jadi beban belanja daerah,” kata Sadar.
Menurut Sadar, dalam waktu dekat DPRD Jabar bakal menghadap Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) untuk memaparkan realitas tenaga honorer di Jabar. Ia berharap pemerintah pusat bisa benar-benar mencarikan solusi untuk mengantisipasi berbagai dampak dari persoalan honorer ini.
“Kita ingin sinkronkan apa yang dilakukan provinsi dengan pemerintah kabupaten/kota. Baik terkait angka jumlah honorer ataupun kebijakan yang diambil. Nanti apa yang jadi masalah di daerah ini bakal kita bawa ke kementerian untuk jadi pertimbangan,” kata Sadar.
Di Kabupaten Bandung Barat, berdasarkan catatan BKPSDM setempat, jumlah tenaga honorer guru dan operator pendidikan sekitar 2.500 orang. Di luar tenaga pendidik, jumlah tenaga honorer disebut sekitar 2.826 orang.
Dengan jumlah tenaga honorer itu, skema PPPK dinilai belum dapat menampung semuanya. “Kita ada usulan formasi PPPK melalui aplikasi Kemenpan RB untuk tahun 2023. Jumlahnya sangat kecil. Kita usulkan tenaga kesehatan 47, tenaga teknis 113, dan guru 100 formasi. Kalaupun usulan ini direstui, tentu enggak cukup menyerap angka honorer kita,” kata Kepala Bidang Pengadaan Pemberhentian Pensiun dan Informasi BKPSDM KBB Dini Setiawati.