REJABAR.CO.ID, CIREBON -- Sidang praperadilan yang diajukan pihak Pegi Setiawan, tersangka dalam kasus pembunuhan Vina dan Eky di Cirebon pada 2016, kembali berlangsung di Pengadilan Negeri Bandung, Kamis (4/7/2024).
Kali ini, sidang tersebut mendengarkan keterangan dari saksi ahli pidana yang dihadirkan oleh Polda Jawa Barat selaku termohon, yakni Prof Agus Surono, seorang guru besar Universitas Pancasila. Namun, keterangan yang disampaikan Profesor Agus dalam sidang itu menimbulkan kekecewaan pada tim penasehat hukum Pegi Setiawan.
‘’Kami melihatnya Profesor Agus Surono selaku ahli di sidang pra peradilan itu menutup-nutupi jika keterangannya itu dapat melemahkan pihak penyidik Polda Jawa Barat. Itu yang kami lihat,’’ ujar salah seorang kuasa hukum Pegi Setiawan, Toni RM, Kamis (4/7/2024).
Toni menjelaskan, saat di awal sidang, hakim melontarkan pertanyaan kepada Agus mengenai syarat penetapan DPO. Pertanyaan itu dijawab Agus, di antaranya biasanya didasarkan pada putusan pengadilan.
Selanjutnya, hakim menanyakan apakah diperlukan pemanggilan terhadap seseorang sebelum ditetapan sebagai DPO. Pertanyaan itu dijawab Agus dengan jawaban tidak perlu kalau tertangkap tangan. Sedangkan jika tidak tertangkap tangan, biasanya didasari oleh laporan polisi (LP).
Setelah melalui serangkaian proses penyelidikan atau penyidikan, kemudian dilakukan pemanggilan-pemanggilan. ‘’Jadi jawaban Pak Agus Surono itu harus dilakukan pemanggilan-pemanggilan kalau yang tidak tertangkap tangan,’’ kata Toni.
Toni melanjutkan, hakim kemudian bertanya berapa kali dilakukan pemanggilan, Agus menjawab dua kali. ‘’Sehingga hakim melihat keterangan ahli ini bahwa kalau yang tidak tertangkap tangan, berarti harus dilakukan pemanggilan minimum dua kali, sebelum ditetapkan sebagai DPO,’’ katanya.
Selain itu, kata Toni, hakim juga menanyakan proses penetapan tersangka. Agus menjawab bahwa penetapan tersangka itu harus mendasarkan minimum dua alat bukti yang diatur dalam pasal 184 KUHAP. Hakim juga menanyakan apakah sebelum ditetapkan sebagai tersangka, seseorang perlu dilakukan pemeriksaan sebagai saksi.
‘’Nah Pak Agus Surono menjawab, sebenarnya tau dia ini. Jadi di dalam Putusan MK Nomor 21 Tahun 2014, katanya, meskipun dalam pertimbangannya ada bahwa harus diperiksa calon tersangkanya, tapi itu tidak wajib, katanya, itu terserah penyidik yang menetapkan tersangka,’’ kata Toni.
‘’Dari penjelasan Pak Agus Surono ini berarti beliau itu sebenarnya mengetahui, bahwa meskipun tidak diatur di dalam amar putusan, tapi dalam pertimbangannya itu Pak Agus Surono tahu bahwa sebelum ditetapkan sebagai tersangka, yang bersangkutan itu harus diperiksa dulu sebagai saksi atau calon tersangka,’’ papar Toni.
Toni melanjutkan, dari dialog antara hakim dan ahli pidana tersebut, pihaknya mempertegas kembali dengan menanyakan hal serupa. Seperti mengenai prosedur penetapan DPO, dimana harus dilakukan pemanggilan minimal dua kali.
‘’Nah ketika ditanya, apabila tidak dilakukan pemanggilan, apakah penetapan DPO-nya sah atau tidak, eh Pak Agus Surono menjawab, saya tadi tidak pernah menjelaskan prosedur penetapan DPO. Yang saya jelaskan adalah prosedur penetapan tersangka. Ngeles ini Pak Agus Surono,’’ kata Toni.
Toni menilai, hal itu dilakukan Agus karena jawaban dari pertanyaan tersebut akan melemahkan penyidik Polda Jabar. ‘’Dia ngeles bahkan sampai berani mengatakan tidak pernah menjelaskan prosedur penetapan DPO. Padahal secara tidak langsung dia menjawab ketika ditanya oleh hakim mengenai penetapan DPO, kemudian dia jawab harus dilakukan pemanggilan, itu kan prosedur,’’ papar Toni.
Toni menambahkan, rekannya dalam sidang itu juga menanyakan mengenai sah atau tidaknya penetapan tersangka jika tidak dilakukan pemeriksaan sebagai saksi, selain minimal ada dua alat bukti.
‘’Dijawab oleh Pak Agus Surono bahwa penetapan tersangka itu didasarkan hanya dua alat bukti. Kemudian tidak ada dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2014 tersebut amarnya itu harus ada pemeriksaan saksi. Itu hanya perluasan putusan Mahkamah Konstitusi itu amarnya isinya hanya perluasan objek pra peradilan. Yaitu yang semula tidak ada penetapan tersangka jadi penetapan tersangka itu bisa jadi objek pra peradilan,’’ kata Toni.
Menurut Toni, Agus lupa dengan penjelasannya sendiri saat tanya jawab dengan hakim. Saat itu, Agus menjelaskan bahwa dalam pertimbangan di putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2014 itu tercantum bahwa ada pertimbangan mengenai pemeriksaan calon tersangka sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Toni melanjutkan, rekannya dalam sidang itu mempertegas kembali pertanyaan mengenai hal tersebut. Namun, Agus menjawab bahwa di amar putusan tidak ada klausul atau amar yang harus diperiksa dulu sebagai calon tersangka sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
‘’Nah ini namanya menyembunyikan. Ketika jawabannya akan melemahkan penyidik, dia sembunyikan. Nah, kenapa kami melihatnya dia menyembunyikan? Karena sudah jelas-jelas dia mengatakan sendiri. Ketika dipertegas, dia bilang tidak ada amar putusannya,’’ kata Toni.
Toni berharap, meski Agus dihadirkan sebagai saksi ahli oleh Polda Jabar, namun semestinya tetap memberikan jawaban yang sesungguhnya.
‘’Meskipun keahlian yang Bapak sampaikan itu berdampak pada lemahnya penyidik dalam menetapkan tersangka, sehingga berakibat status tersangka pada Pegi Setiawan itu dibatalkan, Bapak tidak bermaksud untuk membatalkan, Bapak bermaksud untuk menyampaikan yang sebenarnya. Itu Pak harusnya,’’ kata Toni.