Jumat 16 May 2025 14:07 WIB

Agar Bisa Datang ke Sekolah, Nera Harus Bertaruh Nyawa Sebrangi Perairan Waduk Saguling

Nela harus menyebrangi perairan sekitar 150 meter kedalaman 12 meter setiap hari

Rep: Ferry Bangkit Rizki / Red: Arie Lukihardianti
Nera Nur Puspita (16), Siswa SMAN 1 Saguling Menaiki Rakit untuk Pergi ke Sekolahnya
Foto: Ferry Bangkit
Nera Nur Puspita (16), Siswa SMAN 1 Saguling Menaiki Rakit untuk Pergi ke Sekolahnya

REJABAR.CO.ID,  BANDUNG BARAT -- Jalan terjal harus ditempuh Nera Nur Puspita untuk menuntut ilmu cukup berat. Siswa berusia 16 tahun itu harus bertaruh nyawa menyebrangi perairan Waduk Saguling menggunakan rakit bambu demi bersekolah di SMAN Saguling, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat.

Sekitar pukul 05.00 WIB setiap hari sekolah, Nera sudah bersiap berangkat dari rumahnya di Kampung Cipeundeuy, RT 03/04, Desa Jati, Kecamatan Saguling, KBB menuju sekolahnya yang berada di Desa Girimukti, Kecamatan Saguling. Ia harus bergegas karena takut terlambat masuk sekolah.

Baca Juga

"Jam 05.00 berangkat, atau paling telat jam 05.30 WIB. Kalau lebih dari jam itu pasti terlambat," tutur Nera saat ditemui, belum lama ini.

Perjuangannya untuk mengakses pendidikan itu sudah dimulai sejak awal karena Nera sudah harus berjalan kaki menuju bibir perairan Waduk Saguling yang jaraknya sekitar 1 kilometer lebih dari rumahanya. Sesampainya di Waduk Saguling, sudah ada seorang pria sepuh yang bertugas sebagai penarik rakit atau perahu eretan itu.

Perasaan cemas ketika menaiki rakit yang lumayan sudah lapuk itu terpaksa dihilangkan Nera asalkan bisa sampai ke sekolah untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM) lalu pulang ke rumahnya. Ia harus menyebrangi perairan sekitar 150 meter dengan kedalaman sekitar 12 meter setiap ke sekolah.

Sesampainya di seberang, Nera tak bisa langsung berleha-leha karena harus berjalan kaki sekitar 2 kilometer lebih melewati jalan setapak dengan kontur berbukit yang dihiasi perkebunan dan sawah. Sebisa mungkin harus tepat waktu datang ke sekolah meski cara tempuhnya butuh perjuangan.

"Setiap hari pergi sendiri, naik rakit sendiri disebrangin sama abah. Kalau bayarnya kadang Rp 5 ribu pulang pergi, kadang juga gak bayar karena gak ada uang," ujar siswa kelas X itu.

Menyebrangi perairan Waduk Saguling menggunakan rakit terpaksa dilakoninya sejak sekolah menengah pertama (SMP) meskipun ada opsi lewat jalur darat. Hanya saja, kata Nera, jaraknya lebih jauh dan harus ditempuh menggunakan kendaraan.

"Akses ke sekolah yang paling dekat ya naik rakit. Kalau jalan biasa jauh, harus muter bisa 1 jam lebih. Kalau lewat sana pasti telat terus. Soalnya pake rakit juga kadang terlambat," kata dia.

Nera bukan hanya berlomba dengan waktu untuk menuju sekolah, namun juga faktor cuaca yang harus diwaspadai. Kejadian-kejadian tidak mengenakan pun diceritakannya ketika berangkat dan pulang menggunakan rakit saat cuaca ekstrem.

"Kadang kalau hujan pas mau berangkat, gak jadi ke sekolah karena takut. Kalau pas pulangnya, berteduh dulu, kadang juga suka jatuh pas jalan kaki karena licin," kata dia.

Ditengah berbagai kendala itu, Nera tetap memiliki semangat tinggi untuk menimba ilmu. Ia bersyukur karena pihak sekolah dan teman-temannya begitu mengerti dan memahami kondisinya yang terkadang terlambat masuk sekolah karena perjalanan dari rumahnya yang cukup panjang dan melelahkan.

Nera pun memiliki keinginan masuk pondok pesantren dan harapannya bisa menjadi perawat suatu saat nanti untuk membanggakan orang tuanya. "Aku tetap semangat ke sekolah. Cita-cita aku jadi perawat, tapi rencananya sehabis lulus mau pesantren. Alhamdulillah temen-temen di sekolah baik-baik, kalau telat Nera suka liat atau nanyain ke teman pelajaran yang tertinggal," katanya.

Kepala Sekolah SMAN 1 Saguling Husni Mubarok mengatakan, awalnya pihak sekolah cukup heran karena Nera kerap terlambat datang ke sekolah. Namun setelah mengecek dan melihat langsung perjuangannya, sekolah merasa terharu dan salut.

"Sekolah sudah cek ke rumahnya memang sangat jauh. Kami ke sana lebih 45 menit perjalanan kalau rakit dan tukangnya ada. Mudah-mudahan jadi inspirasi buat kita semua, dengan banyak keterbatasan tapi tetap ada semangat sekolah," kata Husni.

Pihak sekolah sangat memahami keterbatasan dan kendala yang dihadapi siswanya itu. Ketika Nera terlambat atau tidak masuk sekolah karena kendala akses dan cuaca yang tidak memungkinkan, pihak sekolah pun memberikan kelonggaran.

"Kalau seandainya tidak ada yang menyebrang kan itu pasti beliau terlambat ke sekolah. Bukan artinya tidak ada semangat sekolah tapi betul-betul terhambat transportasi. Kalau pihak sekolah betul-betul memahami. Kalau terlambat, bisa melihat ke temannya, kalau tidak masuk bisa diberikan tugas sama gurunya atau daring," kata Husni.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement