REJABAR.CO.ID, BANDUNG--Sekolah Menengah Atas (SMA) swasta di Jawa Barat (Jabar) meradang dengan kebijakan Gubernur Jabar Dedi Mulyadi tentang program penanggulangan anak putus sekolah (PAPS). Sebab, program untuk menjaring siswa sekolah di SMA negeri ini membuat kuota rombongan belajar (rombel) per kelas bertambah jadi 36 menjadi 50 orang.
Ketua Forum Kepala Sekolah SMA Swasta (FKSS) Jabar Ade D Hendriana mengungkapkan jumlah murid baru yang mendaftar ke sekolah swasta jauh dari target. Ia menyebut rata-rata tingkat keterisian murid di sekolah swasta di angka 20 hingga 30 persen usai SPMB tahap 2.
"Setelah pengumuman terakhir (SPMB), SMA swasta bukannya bertambah malah banyak yang mencabut berkas, dalam arti yang tadinya tidak diterima (di sekolah negeri) diterima dalam program PAPS," ujar Ade, Kamis (10/7/2025).
Ia mengatakan fenomena pencabutan berkas di SPMB Jawa Barat oleh calon siswa terjadi bahkan di sekolah swasta yang dianggap elit. Ade mengatakan keputusan gubernur tentang PAPS tidak tepat sasaran.
Ia menduga kebijakan tersebut dibuat semata untuk memfasilitasi siswa-siswi titipan. "Hanya dibalut dengan kemasan yang baik saja," kata dia.
Sementara itu, Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Jawa Barat Purwanto menilai pernyataan FKKS sangat subjektif. Ia mengatakan mekanisme, indikator hingga kriteria penerima dalam keputusan gubernur tersebut telah.
Purwanto menyebut apabila FKKS menemukan indikasi pelanggaran maka dapat dilaporkan melalui surat pernyataan tanggung jawab mutlak. “Kalau kekhawatiran ya subjektif kan. Yang jelas kan di Kepgub sudah ada kriterianya, indikatornya, mekanisme seperti apa," kata dia.
Ia mengatakan idealnya tidak ada kecurangan dengan memanfaatkan program PAPS. Apabila ditemukan titipan maka Disdik Jabar akan mendiskualifikasi. “Kalau ditemukan ya tinggal diadukan saja kita diskualifikasi," katanya.
Sekretaris Daerah Herman Suryatman mengatakan ketentuan calon siswa yang dapat memanfaatkan program PAPS tersapat 4 kategori yaitu berpotensi tinggi putus sekolah. Anak-anak yang menjadi korban bencana alam di Jawa Barat, yang berada di panti asuhan dan orang tuanya tidak memiliki pekerjaan.
"Terakhir bina lingkungan sosial budaya, misalnya anak-anak di lingkungan sekolah tapi orang tuanya jobless tapi tidak masuk ke miskin, itu punya potensi atau sekolah jauh sementara ada sekolah negeri di lingkungannya," kata dia.